Ada
hal yang menarik yang harus kita cermati dari ilmuan muslim pada masa
ke-khilafahan. Mereka mengkaji secara mendalam dan mendetail yang manpu
menyelesaikannya dan menemukan aplikasi dalam kehidupan manusia bahwa
ilmuan muslim yang menjadi awal kemajuan ilmu matematika modern. Kajian
mereka pada masa itu bisa dinilai sebagai penemuan yang mendahui
zamannya. Kita Perhatika Tabit Ibnu Qura (826-901)
misalnya yang terkenal sebagai seorang filosof, ahli matematika dan ahli
bahasa. Ia menerjemahkan buku element Euclides dengan baik,
menerjemahkan bukunya Apolonius, Archimides, Plotomeus dan Theodosius.
Ia juga menulis tentang irisan kerucut, alajabar, bujur sangkar ajaib
dan bilangan bersahabat.
Ahli matematika islam yang lain juga terkenal pada
abad kesepuluh ialah Abu’i Wefa (940-998) yang berasal dari Persia dari daerah Khorasan. Ia menjadi terkenal karena jasanya menerjemahkan karya Diophantus. Dalam trigonometri ia menguaraikan fungsi tangen, menulis tabel sinus dan tangen dalam interval 15 menit. Di antara penulis aljabar pada abad ke-10 dan ke-11 ialah Abu Kamil dan Al-Karkhi. Karya mereka kemudian diperdalam oleh Fibonacci di Eropa. Alkarkhi adalah salah seorang murid dari Diophantus menulis karya denga judul Fakhri mengenai aljabar.[1]
abad kesepuluh ialah Abu’i Wefa (940-998) yang berasal dari Persia dari daerah Khorasan. Ia menjadi terkenal karena jasanya menerjemahkan karya Diophantus. Dalam trigonometri ia menguaraikan fungsi tangen, menulis tabel sinus dan tangen dalam interval 15 menit. Di antara penulis aljabar pada abad ke-10 dan ke-11 ialah Abu Kamil dan Al-Karkhi. Karya mereka kemudian diperdalam oleh Fibonacci di Eropa. Alkarkhi adalah salah seorang murid dari Diophantus menulis karya denga judul Fakhri mengenai aljabar.[1]
Bidang Geometri, kita kenal Ibnu al-Khaytam
(965-1039) dan di barat terkenal dengan nama Al-Hazen. Dia menemukan
solusi aljabar yang dikenal dengan teori Ibnu al-Khaytam yaitu menarik
garis-garis dari dua titik di bidang suatu lingkaran yang berpotongan
pada titik lingkaran dan membuat sudut yang sama dengan lingkaran titik
tersebut. Menuru Fahmi Amhar bahwa beliau merupakan matematikawan
pertama yang menurunkan persamaan pangkat empat, dan menggunakan metode
induksi untuk mengembangkan rumus umum persamaan integral, sebagaimana
di Eropa dikembangkan oleh Newton dan Leibniz empat abad setelahnya.
Pekerjaan Ibnu al-Khaytam diteruskan oleh Sharaf Al-Din Al-Tusi (1135-1213)
yang mengemukaan solusi numerik untuk persamaan kubik sehingga menjadi
penemu deret kubik yang merupakan hal esensial dalam kalkulus
differensial.[2] Selain dibidang matematika Ibnu al-Khaytam juga dikenal sebagai ahli fisika terkemu terutama berkaitan dengan ilmu optik.
Teknik induksi matematika muncul pertama kali dalam tulisan Al-Karaji
sekitar tahun 1000 M, yang penggunaannya untuk menguji teorema binomial
serta jumlah dari kubus integral. Sejarah matematika F. Woepcke memuji
Al-Karaji sebagai yang pertama mengajarkan teori kalkulus dan aljabar
pada masanya.[3]
Di bidang lingkaran dan trigonometri dikenal seorang ilmuan ulung dan
menurut para sejarahwan sangat handal di bidang ini yaitu Al-Battani dengan nama latin Albategnius (± 920).
Umar Khayyam
(± 1100) yang juga berasal dari Khorasan menulis tentang aljabar dan
memberi penyelesaian geometri dari suatu persamaan pangkat tiga. Ia
adalah filosof dan matematikawan yang pertama kali menemukan solusi
geometris dari persamaan kubik (yaitu ruang ellips, parabola,
paraboloida dan hyperbola) dan sebagai dasar geometri analisis, geometri
aljabar dan non-euclidian geometris. Karyanya yang terkenal dengan
judul Rubayat. Ia juga memyusun perbaikan kelender umat islam. Kemudian Nasiruddin
(± 1250) berasal dari Khorasah juga, ia menulis trigonometri bidang dan
trigonometri bola terpisah dari astronomi. Berdasarkan karya beliaulah
kemudian Saccheri menulis geometri non Euclides.
Karyanya
juga diterjemahkan oleh John Wallis ke dalam bahasa Inggris pada abad
ke-17. Dan sampai sekarangpun geometri non Euclides lagi dikembangan
oleh para ahli matematika modern, terutama perkaitan dengan penerapan
dan aplikasinya. Salah satu aplikasinya yang dikembangkan oleh Albert
Einstein dalam fisika relativitas. Jauh sebelum umat islam dapat
menaklukan daerah-daerah di Timur dekat, pada saat itu Suriah merupakan
tempat bertemunya dua kekuasaan dunia yaitu Romawi dan Persia. Atas
dasar itu, bangsa Suriah disebut-sebut memainkan peranan penting dalam
penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat.
Dikalangan umat Kristen Suriah, terutama dikalangan kaum Nestorian, ilmu
pengetahuan Yunani dipelajari dan disebarluaskan melalui
sekolah-sekolah mereka. Walaupun tujuan utama sekolah tersebut
menyebarluaskan Injil, namun pengetahuan ilmiah seperti kedokteran,
banyak diminati oleh para pelajar. Sayangnya, pihak gereja memandang
ilmu kedokteran tersebut sebagai ilmu sekuler.
Dengan
demikian, posisinya lebih rendah dari pada ilmu pengobatan spiritual
yang merupakan hak istimewa para pendeta. Selain itu juga, pada masa ini
didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Ariokh, Ephesus, dan
Iskandariah, dimana buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan
diterjemahkan keberbagai bahasa terutama Siriani, bahkan setelah
pusat-pusat ilmu pengetahuan ditaklukan oleh umat islam, pengaruh
pemikiran Yunani tetap memandang dan meluas.
Pada
masa tersebut juga didapati seorang tokoh Kristen bernama Nestorius,
yang melakukan dekonstruksi atas pemahaman teologi kalangan Kristen
konsetrvatif ortodoks, setelah dia terpengaruh oleh alam pikiran Yunani
tersebut. Dia bersama pengikutnya kemudian hijrah ke Suriah dalam
melanjulkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Kegiatan ini pada
gilirannya menghasilkan terjemahan karya filosof Yunani seperti
Phorphyrius, diataranya Isagoge, Categories, Hermeneutica, dan Analytical Priori.
Pusat-pusat
ilmu pengetahuan yang dipimpin oleh umat Kristen tersebut terus
berkembang dengan bebasnya sampai mereka berada di bawah naungan
kekuasaan ke-Khilafahan Islam. Hal ini menunjukan bahwa islam tidak
hanya mendukung adanya kebebasan intektual semata, tetapi juga
membuktikan kecintaan umat islam terhadap ilmu pengetahuan dan sikap
hormat kepada ilmuan lainnya, tanpa memandang agama mereka.
Masa keemasan Islam (the golden age)
Pada masa kejayaan dunia muslim ketika
kekuasaan islam berdiri tegak dan kokoh pada masa pemerintahan Khilafah
Umayyah dan Khilafah Abbasiah ilmu pengetahuan berkembang sangat maju
dan pesat kemajuan tersebut membawa dunia islam pada masa keamasannya (the golden age), dimana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh dari kekuasaan islam masih berada pada masa kegelapan peradabannya (the dark age). Pada
awalnya, orang-orang muslim hidup sederhana dan tidak memperhatika
kahlian ilmu pengetahuan lainnya. Namun, karena dorongan pemerintah dan
Khilafah islamlah ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.[5]
Kaum
muslim mengembangkan peradaban yang tidak pernah dikenal dan dimiliki
bangsa-bangsa lain. Mereka menjadi benar-benar berpengalaman dalam
berbagai macam keahlian mereka terhadap ilmu pengetahuan. Maka,
merekapun punya keinginan untuk mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu
termasuk filsafat. Kemampuan mereka untuk berpikirlah telah memberi
aspirasi dalam jurusan ilmu-ilmu rasio. Pada masa tersebut banyak
totok-tokoh filsafat yang bergelut secara serius dalam kajian-kajian di
luar filsafat. Hal ini bisa dipahami karena adanya keanyataan bahwa
mereka menganggap ilmu-ilmu rasional sebagai bagian dari filsafat.
Atas dasar inilah mereka memperlakukan masalah-masalah yang bersifat metafisik. Salah satu bukti nyata adanya kitab Al-Syifa,
sebuah ensiklopedia filsafat arab yang terbesar berisi empat bagian
yang terdiri dari bagian pertama berkaitan denga logika, bagian kedua
membahas fisika, bagian ketiga tentang matematika, dan bagian keempat
membahas tentang meta fisika. Dalam bagian fisika, ibnu Sina memasukan
ilmu psikologi, zoologi, geologi, dan botani, kemudian pada bagian
matematika ia membahas geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Ibnu Sina (980-1037) juga merupakan seorang filosof yang dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna.
Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan
penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk
syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo.
Buku ini kemudian menjadi buku teks (text book)
dalam ilmu kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di
Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon,
Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental
untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya
sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan
ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan
kekuatan penyakit. Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya adalah
potensi (mumkin al wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri tanpa adanya Tuhan.
Ibnu
Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga macam yakni obyek-obyek yang secara
niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisik),
obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika),
dan obyek-obyek yang pada dirinya immateriel tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak (matematika). Kemudian, ada Ibn Khaldun dalam kitabnya Al Muqaddimah membagi
metafisika dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang hakikat
wujud (ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni eksistensialis (tokoh yang terkemuka adalah Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan esensialis (tokoh yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi).
Berikutnya
Ibn Khaldun membagi ilmu matematika ke dalam empat subdivisi yakni
pertama tentang geometri berhubungan trigonometrik dan kerucut, surveying tanah,
dan optik. Sarjana-sarjana muslim terutama Ibn Haitsam telah banyak
mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger Bacon, Vitello dan Kepler.
Kedua, Aritmetika berhubungan dengan seni berhitung/hisab, aljabar,
aritmatika bisnis dan faraidl (hukum waris). Ketiga berkaitan dengan musik, dan yang keempat berkaitan astronomi.
Aljabar atau Al-Khawarijmi
Kita kenal istilah aljabar (salah satu cabang matematika) berasal dari kata al-Jabr, satu dari dua operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum dalam buku Al-Kwarizimi. Beliau bukan
nama yang baru dikenal oleh matematika muslim akan tetapi nama inilah
dikenali di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-Ahawizmi,
al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi, Al-gorismi, Algoritma dan beberapa
ejaan penyebutan lainnya kemudian dinama latinkan menjadi Aljabar,
bahkan beliau adalah imuwan tulen (insinyur muslim) yang mencoba
mengkaji isi alam semesta ini terutama berkaitan dengan kehidupan dan
manusia (Sains dan teknologi), beliaulah yang menemukan Al Jabru wal Mukobala (penjabaran dan penyelesaian).
Nama asli beliau adalah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu beliau dikenali sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff. Beliau adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi, geografi dan tidak kalah populernya beliau juga ahli fiqh dan syariah yang berasal dari Persia. Sekitar tahun 780 di Khwārizmi dilahirkan (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850. Menurut sejarah disepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Baghdad pada masa Khalifah Al-Ma’mun dan berpartisipasi dalam proyek menentukan tata letak di Bumi, bersama dengan 70 ahli geografi lain untuk membuat peta yang kemudian disebut “ketahuilah dunia”. Ketika hasil kerjanya dikopi dan di transfer ke Eropa dan Bahasa Latin, menimbulkan dampak yang hebat pada kemajuan matematika dasar di Eropa.
Buku pertamanya, al-Jabar, adalah buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Translasi bahasa Latin dari Aritmatika beliau, yang memperkenalkan angka India, kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Penomoran Posisi Desimal di dunia Barat pada abad ke 12. Ia merevisi dan menyesuaikan Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan astrologi.
Sumbangsi
pemikirannya tak hanya berdampak besar pada matematika, tapi juga dalam
kebahasaan bahkan diberbagai bidang terutama fiqh dan syari’ah, itulah
keunggulan ilmuwan matematika muslim disamping dia bisa mengkaji
Al-qu’an dan Hadist sebagai sumber rujukan untuk menggali fakta-fakta
yang baru yang berkaitan dengan kehidupan ini, manusia dan alam semesta,
ilmuwan muslim juga berhak memberikan sumbangan pemikiran kepada siapa
saja yang membutuhkannya.
Kata logarisme dan logaritma diambil dari kata Algorismi, Latinisasi dari nama beliau. Nama beliau juga di serap dalam bahasa Spanyol Guarismo dan dalam bahasa Portugis, Algarismo yang berarti digit. Karya terbesar beliau dalam matematika, astronomi, astrologi, geografi, kartografi, sebagai fondasi dan kemudian lebih inovatif dalam aljabar, trigonometri, dan pada bidang lain yang beliau tekuni. Pendekatan logika dan sistematis beliau dalam penyelesaian linear dan notasi kuadrat memberikan keakuratan dalam disiplin aljabar. Pada buku beliau, Kalkulasi dengan angka Hindu, yang ditulis tahun 825, memprinsipkan kemampuan difusi angka India ke dalam perangkaan timur tengah dan kemudian Eropa.
Buku beliau diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Algoritmi de numero Indorum, menunjukkan kata algoritmi menjadi bahasa Latin. Beberapa kontribusi beliau berdasar pada Astronomi Persia dan Babilonia, angka India, dan sumber-sumber Yunani,
bahkan beliau dianggap orang yang bertanggung jawab tentang system
pembuatan angka yang kita kenal sekarang ini, sekurang-kurangnya dari
segi penggunaan dan penyebarannya ke Barat.[6] Buku yang dikarang oleh al-khwarizmi terdiri dari:
ü Al-jabar yaitu al-kitāb al-mukhtaṣar fī ḥisāb al-jabr wa-l-muqābala (Buku Rangkuman Kalkulasi dengan Melengkapkan dan Menyeimbangkan)
ü Aritmatika yaitu Algoritmi de numero Indorum (al-Kahwārizmī pada angka kesenian Hindu”)
ü Rekonstruksi/ Geografi yaitu Kitāb ṣūrat al-Arḍ (buku pemandangan dunia atau kenampakan bumi)
ü Astronomi yaitu Zīj al-sindhind (kalkulasi kalender astronomi) dan Risāla fi istikhrāj ta-rīkh al-yahūd (petunjuk penanggalan yahudi)
ü Dua karya berisi tentang pagi (ma’rifat sa’at al-mashriq fī kull balad) dan determinasi azimut dari tinggi (Ma’rifat al-samt min qibal al-irtifā’)
ü Mufatih al-Ulum: yang bermaksud beliau adalah pencinta ilmu dalam pelbagai bidang.
ü Al-Jami wa al-Tafsir bi Hisab al-Hind: Karya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Prince Boniopagri.
ü Ibadah yaitu Al-Amal bi’ Usturlab’ (berkaitan dengan amal perbuatan)
ü Pergerakan yaitu Al-Tarikh (berkaitan dengan jalan kebangkitan)
ü Matematika Hisab dan Rukyat yaitu Al-Maqala Fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabilah. Dan banyak lagi karya beliau yang belum diketahui.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansyur
(± 813 M) mengirim utusan kepada Kaisar Romawi dan meminta agar
dikirimi terjemahan karya matematika. Kemudian Kaisar mengirimkan buku
karangan Euclides dan beberapa karya lainnya tentang matematika dan
fisika. Ilmuan saat itu membaca dan mempelajari isinya. Keinginan mereka
untuk menginginkan tambahan buku klasik yang dikirim kian berkobar.
Selanjutnya, Khalifah Al-Ma’mun
(813-833 M) yang datang dengan sendirinya. Beliau merupakan ilmuan yang
banyak tahu tentang perkembangan ilmu pengetahuan ilmiah dan
kecintaannya tentang ilmu tersebut. Kecintaan itu menumbuhkan
semangatnya untuk melakukan sesuatu demi kepentingan akan ilmu
pengetahuan. Khalifah Al-Ma’mun telah berjasa besar dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan di dunia muslim dengan Bait Al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan besar, sebuah observatorium (laboratorium), dan sebuah departemen penerjemahan.
Salah seorang yang terpenting di Bait Al-Hikmah adalah
Hunain yang telah berjasa menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles,
Galenus, Appolonuis, dan Archimedes. Selanjutnya pada pertengahan abad X
muncul juga dua penerjemah terkemuka yaitu Yahya Ibn A’di dan Abu Ali Isa Ibn Ishaq Ibn Zera. Yahya banyak memperbaiki terjemahan dan menulis komentar Aristoteles seperti, Categories, Sophist, Poetics, Metaphysics, dan karya Plato seperti Timaesus dan Laws. Dia juga dikenal sebagai ahli logika dan menerjemahkan The Prolegomena of Ammonius dan satu kata pengantar untuk Isagoge-nya Pophyrius.[7]
Selain tokoh di atas, kita juga mengenal Al-Kindi
(801-873), seorang filosof sekaligus sainstis dibidang matematika dan
fisika. Dia merupakan perintis dalam analisa kriptologi, yaitu ilmu
persandian suatu teks sehingga dapat dimengerti bila dietahui kuncinya.
Persandian mutlak diperlukan agar suatu teks yang dikirim melalui jalur
komunikasi tidak diketahui atau digunakan oleh orang yang tidak berhak.
Aplikasinya mencakup perlindungan data ATM atau kartu kredit dan ponsel
agar tidak disadap oleh musuh.
Semua teknik dasar Al-Kindi ini masih dipakai hingga saat ini, termasuk salah satu badan intelejen Amerika yaitu National Security Agency (NSA)
yang memperkejakan ribuan matematikawan untuk mengurai teks-teks
bersandi yang banya banyak sekali pada internet. Dalam buku A Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages ditunjukan bagaimana Al-Khindi mengurai suatu teks tersandi dengan analisis frekuensi.[8]
Al-Khindi juga pernah berpendapat bahwa seorang mungkin dapat menjadi filosof sebelum mempelajari filsafat. Kelebihan al-Kindi yang lain
adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah
terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut. Al-Kindi
telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat
itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai
matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah
mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat.
Mukaddimah
ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai
keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika.
Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan
astronomi. Capaian
ilmuan matematia muslim juga meliputi penemuan trigonometri sferis,
yang menjadi dasar segala perhitungan penentuan lintang bujur di atas
bumi, hal yang menjadi amat mendasar di dunia astronomi, geodesi dan
geografi. Mereka juga menemukan tabel-tabel sinus, cosinus, tangen
dengan teknik perhitungan deret trigonometris.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational).
Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan
mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya
(pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut.
Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya
dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan
oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi
seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi
sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Tokoh lainnya adalah Abu Nashr Al-Farabi
yang mengadakan penelitian di bidang geometri dari mekanika, dan dia
juga salah seorang musikus muslim yang tebesar. Salah satu karyanya di
bidang musik adalah kitab al-Musiqi al-Kabir. Kontribusi lain
dari Al Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya
mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al Farabi telah memberikan defenisi
dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al
Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu: logika,
percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih
(hukum).
Ilmu
percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian yaitu: bahasa, gramatika,
sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan
dibagi dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang
benar, aturan membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair yang baik.
Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri
dengan syair (puisi). Matematika juga beliau bagi dalam tujuh bagian.
Buku Al Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul de Divisione Philosophae.
Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul de Scientiis atau de Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik, dan geologi. Al Farabi terkenal dengan doktrin wahda al wujud membagi
hierarki wujud yaitu pertama, dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang
merupakan sebab bagi keberadaan yang lain. Kedua, para
malaikat di bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain.
Ketiga, benda-benda langit (angkasa), dan keempat berkaitan benda-benda
bumi.
Al
Farabi memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan
filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat di antara
mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Kemudian
dia mengenal Ibn Bajah, Ibn Tufail, dan Ibn Rusd yang hidup di Andalusia
dan bergerak secara intensif dalam bidang kedokteran.
Ibn Rusd, mengarang buku yang berjudul Al-Kulliyat yang diterjemahkan ke dalam bahas Latin pada pertengatahan abad ketiga belas Masehi. Selanjutnya ada Muhammad Zakaria Al-Razi,
dokter terbesar dalam Islam, beliau terkenal karena orisinalitasnya dan
pandangannya yang jernih dan kemampuannya menemukan jenis-jenis
penyakit yang belum dikenal sebelumnya. Kitabnya yang berjudul Al-Hawi merupakan kitab yang paling terkemuka di antara karya-karya kedokteran Arab yang diambil manfaatnya oleh bangsa Latin.[9]
Filosof lainnya adalah Ibnu Rushd
(1126-1198) atau dikenal di barat Averroes yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah mengarang buku ilmu
kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan
Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof. Ibnu Rusd juga
dikenal sebagai ahli matematika dan fisika, terbukti dalam salah satu
kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus
dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik dari sebuah benda yang lembam.
Apa yang ditulis oleh ibn Rusd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika
klasik Newton.
[1] Lihat, Sitorus, Pengantar Sejarah Matematika dan Pembahuruan Pengajaran Matematika di Sekolah, (Bandung: PT. Tarsito, 1990), h, 94-95
[2] Lihat, Dr-Ing. Fahmi Amhar, TSQ Stories: Kisah-Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di masa peradaban Islam, (Bogor: Al Azhar Press, 2010), hlm.42
[3] Ibid, hlm. 42
[4] Ibid, h.99
[5] Konon dengan support atau dukungan Khalifah (penguasa pemerintahan islam), para penemu ilmu pengetahuan dan teknologi dihadiahkan emas (dinar)
setebal buku hasil penemuan mereka. Sehingga, itulah salah satu yang
memotifasi para ilmuan untuk berkembang dan menemukan sesuatu hal yang
baru.
[6]Lihat, Sulaiman Nordin. Sains Menurut Perspektif Islam. Dewan Bahasa dan Pustaka. (Kuala Lumpur: PT. Dwi Rama, 2000), h. 75
[7] Lihat, C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam islam, alih bahasa: Hasan Basri, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002). Edisi II, hal 39-40.
[8] Lihat, Dr-Ing. Fahmi Amhar, op, cit, hlm.42
[9] Lihat, Ibrahim Madkoer, Op.cit, hal 120
Oleh: Muh. Didiharyono
0 komentar:
Posting Komentar