"Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat."

Senin, 23 Desember 2013

Ilmuan Matematika Muslim pada Masa Kekhilafahan; Ilmuan yang mendahului Zamannya

Ada hal yang menarik yang harus kita cermati dari ilmuan muslim pada masa ke-khilafahan. Mereka mengkaji secara mendalam dan mendetail yang manpu menyelesaikannya dan menemukan aplikasi dalam kehidupan manusia bahwa ilmuan muslim yang menjadi awal kemajuan ilmu matematika modern. Kajian mereka pada masa itu bisa dinilai sebagai penemuan yang mendahui zamannya. Kita Perhatika Tabit Ibnu Qura (826-901) misalnya yang terkenal sebagai seorang filosof, ahli matematika dan ahli bahasa. Ia menerjemahkan buku element Euclides dengan baik, menerjemahkan bukunya Apolonius, Archimides, Plotomeus dan Theodosius. Ia juga menulis tentang irisan kerucut, alajabar, bujur sangkar ajaib dan bilangan bersahabat.
Ahli matematika islam yang lain juga terkenal pada
abad kesepuluh ialah Abu’i Wefa (940-998) yang berasal dari Persia dari daerah Khorasan. Ia menjadi terkenal karena jasanya menerjemahkan karya Diophantus. Dalam trigonometri ia menguaraikan fungsi tangen, menulis tabel sinus dan tangen dalam interval 15 menit. Di antara penulis aljabar pada abad ke-10 dan ke-11 ialah Abu Kamil dan Al-Karkhi. Karya mereka kemudian diperdalam oleh Fibonacci di Eropa. Alkarkhi adalah salah seorang murid dari Diophantus menulis karya denga judul Fakhri mengenai aljabar.[1]
Bidang Geometri, kita kenal Ibnu al-Khaytam (965-1039) dan di barat terkenal dengan nama Al-Hazen. Dia menemukan solusi aljabar yang dikenal dengan teori Ibnu al-Khaytam yaitu menarik garis-garis dari dua titik di bidang suatu lingkaran yang berpotongan pada titik lingkaran dan membuat sudut yang sama dengan lingkaran titik tersebut. Menuru Fahmi Amhar bahwa beliau merupakan matematikawan pertama yang menurunkan persamaan pangkat empat, dan menggunakan metode induksi untuk mengembangkan rumus umum persamaan integral, sebagaimana di Eropa dikembangkan oleh Newton dan Leibniz empat abad setelahnya.
Pekerjaan Ibnu al-Khaytam diteruskan oleh Sharaf Al-Din Al-Tusi (1135-1213) yang mengemukaan solusi numerik untuk persamaan kubik sehingga menjadi penemu deret kubik yang merupakan hal esensial dalam kalkulus differensial.[2] Selain dibidang matematika Ibnu al-Khaytam juga dikenal sebagai ahli fisika terkemu terutama berkaitan dengan ilmu optik.
Teknik induksi matematika muncul pertama kali dalam tulisan Al-Karaji sekitar tahun 1000 M, yang penggunaannya untuk menguji teorema binomial serta jumlah dari kubus integral. Sejarah matematika F. Woepcke memuji Al-Karaji sebagai yang pertama mengajarkan teori kalkulus dan aljabar pada masanya.[3] Di bidang lingkaran dan trigonometri dikenal seorang ilmuan ulung dan menurut para sejarahwan sangat handal di bidang ini yaitu Al-Battani dengan nama latin Albategnius (± 920).
Umar Khayyam (± 1100) yang juga berasal dari Khorasan menulis tentang aljabar dan memberi penyelesaian geometri dari suatu persamaan pangkat tiga. Ia adalah filosof dan matematikawan yang pertama kali menemukan solusi geometris dari persamaan kubik (yaitu ruang ellips, parabola, paraboloida dan hyperbola) dan sebagai dasar geometri analisis, geometri aljabar dan non-euclidian geometris. Karyanya yang terkenal dengan judul Rubayat. Ia juga memyusun perbaikan kelender umat islam. Kemudian Nasiruddin (± 1250) berasal dari Khorasah juga, ia menulis trigonometri bidang dan trigonometri bola terpisah dari astronomi. Berdasarkan karya beliaulah kemudian Saccheri menulis geometri non Euclides.
Karyanya juga diterjemahkan oleh John Wallis ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-17. Dan sampai sekarangpun geometri non Euclides lagi dikembangan oleh para ahli matematika modern, terutama perkaitan dengan penerapan dan aplikasinya. Salah satu aplikasinya yang dikembangkan oleh Albert Einstein dalam fisika relativitas. Jauh sebelum umat islam dapat menaklukan daerah-daerah di Timur dekat, pada saat itu Suriah merupakan tempat bertemunya dua kekuasaan dunia yaitu Romawi dan Persia. Atas dasar itu, bangsa Suriah disebut-sebut memainkan peranan penting dalam penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat.
Dikalangan umat Kristen Suriah, terutama dikalangan kaum Nestorian, ilmu pengetahuan Yunani dipelajari dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah mereka. Walaupun tujuan utama sekolah tersebut menyebarluaskan Injil, namun pengetahuan ilmiah seperti kedokteran, banyak diminati oleh para pelajar. Sayangnya, pihak gereja memandang ilmu kedokteran tersebut sebagai ilmu sekuler.
Dengan demikian, posisinya lebih rendah dari pada ilmu pengobatan spiritual yang merupakan hak istimewa para pendeta. Selain itu juga, pada masa ini didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Ariokh, Ephesus, dan Iskandariah, dimana buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan diterjemahkan keberbagai bahasa terutama Siriani, bahkan setelah pusat-pusat ilmu pengetahuan ditaklukan oleh umat islam, pengaruh pemikiran Yunani tetap memandang dan meluas.
Pada masa tersebut juga didapati seorang tokoh Kristen bernama Nestorius, yang melakukan dekonstruksi atas pemahaman teologi kalangan Kristen konsetrvatif ortodoks, setelah dia terpengaruh oleh alam pikiran Yunani tersebut. Dia bersama pengikutnya kemudian hijrah ke Suriah dalam melanjulkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Kegiatan ini pada gilirannya menghasilkan terjemahan karya filosof Yunani seperti Phorphyrius, diataranya Isagoge, Categories, Hermeneutica, dan Analytical Priori.
Pusat-pusat ilmu pengetahuan yang dipimpin oleh umat Kristen tersebut terus berkembang dengan bebasnya sampai mereka berada di bawah naungan kekuasaan ke-Khilafahan Islam. Hal ini menunjukan bahwa islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intektual semata, tetapi juga membuktikan kecintaan umat islam terhadap ilmu pengetahuan dan sikap hormat kepada ilmuan lainnya, tanpa memandang agama mereka.
Masa keemasan Islam (the golden age)
Pada masa kejayaan dunia muslim ketika kekuasaan islam berdiri tegak dan kokoh pada masa pemerintahan Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiah ilmu pengetahuan berkembang sangat maju dan pesat kemajuan tersebut membawa dunia islam pada masa keamasannya (the golden age), dimana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh dari kekuasaan islam masih berada pada masa kegelapan peradabannya (the dark age). Pada awalnya, orang-orang muslim hidup sederhana dan tidak memperhatika kahlian ilmu pengetahuan lainnya. Namun, karena dorongan pemerintah dan Khilafah islamlah ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.[5]
Kaum muslim mengembangkan peradaban yang tidak pernah dikenal dan dimiliki bangsa-bangsa lain. Mereka menjadi benar-benar berpengalaman dalam berbagai macam keahlian mereka terhadap ilmu pengetahuan. Maka, merekapun punya keinginan untuk mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu termasuk filsafat. Kemampuan mereka untuk berpikirlah telah memberi aspirasi dalam jurusan ilmu-ilmu rasio. Pada masa tersebut banyak totok-tokoh filsafat yang bergelut secara serius dalam kajian-kajian di luar filsafat. Hal ini bisa dipahami karena adanya keanyataan bahwa mereka menganggap ilmu-ilmu rasional sebagai bagian dari filsafat.
Atas dasar inilah mereka memperlakukan masalah-masalah yang bersifat metafisik. Salah satu bukti nyata adanya kitab Al-Syifa, sebuah ensiklopedia filsafat arab yang terbesar berisi empat bagian yang terdiri dari bagian pertama berkaitan denga logika, bagian kedua membahas fisika, bagian ketiga tentang matematika, dan bagian keempat membahas tentang meta fisika. Dalam bagian fisika, ibnu Sina memasukan ilmu psikologi, zoologi, geologi, dan botani, kemudian pada bagian matematika ia membahas geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Ibnu Sina (980-1037) juga merupakan seorang filosof yang dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo.
Buku ini kemudian menjadi buku teks (text book) dalam ilmu kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit. Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya adalah potensi (mumkin al wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri tanpa adanya Tuhan.
Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga macam yakni obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisik), obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika), dan obyek-obyek yang pada dirinya immateriel tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak (matematika). Kemudian, ada Ibn Khaldun dalam kitabnya Al Muqaddimah membagi metafisika dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang hakikat wujud (ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni eksistensialis (tokoh yang terkemuka adalah Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan esensialis (tokoh yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi).
Berikutnya Ibn Khaldun membagi ilmu matematika ke dalam empat subdivisi yakni pertama tentang geometri berhubungan trigonometrik dan kerucut, surveying tanah, dan optik. Sarjana-sarjana muslim terutama Ibn Haitsam telah banyak mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger Bacon, Vitello dan Kepler. Kedua, Aritmetika berhubungan dengan seni berhitung/hisab, aljabar, aritmatika bisnis dan faraidl (hukum waris). Ketiga berkaitan dengan musik, dan yang keempat berkaitan astronomi.
Aljabar atau Al-Khawarijmi
Kita kenal istilah aljabar (salah satu cabang matematika) berasal dari kata al-Jabr, satu dari dua operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum dalam buku Al-Kwarizimi. Beliau bukan nama  yang baru dikenal oleh  matematika muslim akan tetapi nama inilah dikenali di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-Ahawizmi, al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi, Al-gorismi, Algoritma  dan beberapa ejaan penyebutan lainnya kemudian dinama latinkan menjadi Aljabar, bahkan beliau adalah imuwan tulen (insinyur muslim) yang mencoba mengkaji isi alam semesta ini terutama berkaitan dengan kehidupan  dan manusia (Sains dan teknologi), beliaulah yang menemukan Al Jabru wal Mukobala (penjabaran dan penyelesaian).
Nama asli beliau adalah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu beliau dikenali sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff.  Beliau adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi, geografi dan   tidak kalah populernya beliau juga ahli fiqh dan syariah yang berasal dari Persia.  Sekitar tahun 780 di Khwārizmi dilahirkan (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850. Menurut sejarah disepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Baghdad pada masa Khalifah Al-Ma’mun dan berpartisipasi dalam proyek menentukan tata letak di Bumi, bersama dengan 70 ahli geografi lain untuk membuat peta yang kemudian disebut ketahuilah dunia. Ketika hasil kerjanya dikopi dan di transfer ke Eropa dan Bahasa Latin, menimbulkan dampak yang hebat pada kemajuan matematika dasar di Eropa.
Buku pertamanya, al-Jabar, adalah buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Translasi bahasa Latin dari Aritmatika beliau, yang memperkenalkan angka India, kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Penomoran Posisi Desimal di dunia Barat pada abad ke 12. Ia merevisi dan menyesuaikan Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan astrologi.
Sumbangsi pemikirannya tak hanya berdampak besar pada matematika, tapi juga dalam kebahasaan bahkan diberbagai bidang terutama fiqh dan syari’ah, itulah keunggulan ilmuwan matematika muslim disamping dia bisa mengkaji Al-qu’an dan Hadist sebagai sumber rujukan untuk menggali fakta-fakta yang baru yang berkaitan dengan kehidupan ini, manusia dan alam semesta, ilmuwan muslim juga berhak memberikan sumbangan pemikiran kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Kata logarisme dan logaritma diambil dari kata Algorismi, Latinisasi dari nama beliau. Nama beliau juga di serap dalam bahasa Spanyol Guarismo dan dalam bahasa Portugis, Algarismo yang berarti digit. Karya terbesar beliau dalam matematika, astronomi, astrologi, geografi, kartografi, sebagai fondasi dan kemudian lebih inovatif dalam aljabar, trigonometri, dan pada bidang lain yang beliau tekuni. Pendekatan logika dan sistematis beliau dalam penyelesaian linear dan notasi kuadrat memberikan keakuratan dalam disiplin aljabar. Pada buku beliau, Kalkulasi dengan angka Hindu, yang ditulis tahun 825, memprinsipkan kemampuan difusi angka India ke dalam perangkaan timur tengah dan kemudian Eropa.
Buku beliau diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Algoritmi de numero Indorum, menunjukkan kata algoritmi menjadi bahasa Latin. Beberapa kontribusi beliau berdasar pada Astronomi Persia dan Babilonia, angka India, dan sumber-sumber Yunani, bahkan beliau dianggap orang yang bertanggung jawab tentang system pembuatan angka yang kita kenal sekarang ini, sekurang-kurangnya dari segi penggunaan dan penyebarannya ke Barat.[6] Buku yang dikarang oleh al-khwarizmi terdiri dari:
ü Al-jabar yaitu al-kitāb al-mukhtaṣar fī ḥisāb al-jabr wa-l-muqābala (Buku Rangkuman Kalkulasi dengan Melengkapkan dan Menyeimbangkan)
ü Aritmatika yaitu Algoritmi de numero Indorum (al-Kahwārizmī pada angka kesenian Hindu”)
ü Rekonstruksi/ Geografi yaitu Kitāb ṣūrat al-Arḍ (buku pemandangan dunia atau kenampakan bumi)
ü Astronomi yaitu Zīj al-sindhind (kalkulasi kalender astronomi) dan Risāla fi istikhrāj ta-rīkh al-yahūd (petunjuk penanggalan yahudi)
ü Dua karya berisi tentang pagi (ma’rifat sa’at al-mashriq fī kull balad) dan determinasi azimut dari tinggi (Ma’rifat al-samt min qibal al-irtifā’)
ü Mufatih al-Ulum: yang bermaksud beliau adalah pencinta ilmu dalam pelbagai bidang.
ü Al-Jami wa al-Tafsir bi Hisab al-Hind: Karya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Prince Boniopagri.
ü Ibadah yaitu  Al-Amal bi’ Usturlab’ (berkaitan dengan amal perbuatan)
ü Pergerakan yaitu  Al-Tarikh (berkaitan dengan jalan kebangkitan)
ü Matematika Hisab dan Rukyat yaitu Al-Maqala Fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabilah. Dan banyak lagi karya beliau yang belum diketahui.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansyur (± 813 M) mengirim utusan kepada Kaisar Romawi dan meminta agar dikirimi terjemahan karya matematika. Kemudian Kaisar mengirimkan buku karangan Euclides dan beberapa karya lainnya tentang matematika dan fisika. Ilmuan saat itu membaca dan mempelajari isinya. Keinginan mereka untuk menginginkan tambahan buku klasik yang dikirim kian berkobar.
Selanjutnya, Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) yang datang dengan sendirinya. Beliau merupakan ilmuan yang banyak tahu tentang perkembangan ilmu pengetahuan ilmiah dan kecintaannya tentang ilmu tersebut. Kecintaan itu menumbuhkan semangatnya untuk melakukan sesuatu demi kepentingan akan ilmu pengetahuan. Khalifah Al-Ma’mun telah berjasa besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di dunia muslim dengan Bait Al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan besar, sebuah observatorium (laboratorium), dan sebuah departemen penerjemahan.
Salah seorang yang terpenting di Bait Al-Hikmah adalah Hunain yang telah berjasa menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan Archimedes. Selanjutnya pada pertengahan abad X muncul juga dua penerjemah terkemuka yaitu Yahya Ibn A’di dan Abu Ali Isa Ibn Ishaq Ibn Zera. Yahya banyak memperbaiki terjemahan dan menulis komentar Aristoteles seperti, Categories, Sophist, Poetics, Metaphysics, dan karya Plato seperti Timaesus dan Laws. Dia juga dikenal sebagai ahli logika dan menerjemahkan The Prolegomena of Ammonius dan satu kata pengantar untuk Isagoge-nya Pophyrius.[7]
Selain tokoh di atas, kita juga mengenal Al-Kindi (801-873), seorang filosof sekaligus sainstis dibidang matematika dan fisika. Dia merupakan perintis dalam analisa kriptologi, yaitu ilmu persandian suatu teks sehingga dapat dimengerti bila dietahui kuncinya. Persandian mutlak diperlukan agar suatu teks yang dikirim melalui jalur komunikasi tidak diketahui atau digunakan oleh orang yang tidak berhak. Aplikasinya mencakup perlindungan data ATM atau kartu kredit dan ponsel agar tidak disadap oleh musuh.
Semua teknik dasar Al-Kindi ini masih dipakai hingga saat ini, termasuk salah satu badan intelejen Amerika yaitu National Security Agency (NSA) yang memperkejakan ribuan matematikawan untuk mengurai teks-teks bersandi yang banya banyak sekali pada internet. Dalam buku A Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages ditunjukan bagaimana Al-Khindi mengurai suatu teks tersandi dengan analisis frekuensi.[8]
Al-Khindi juga pernah berpendapat bahwa seorang mungkin dapat menjadi filosof sebelum mempelajari filsafat. Kelebihan al-Kindi yang lain adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut. Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat.
Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi. Capaian ilmuan matematia muslim juga meliputi penemuan trigonometri sferis, yang menjadi dasar segala perhitungan penentuan lintang bujur di atas bumi, hal yang menjadi amat mendasar di dunia astronomi, geodesi dan geografi. Mereka juga menemukan tabel-tabel sinus, cosinus, tangen dengan teknik perhitungan deret trigonometris.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Tokoh lainnya adalah Abu Nashr Al-Farabi yang mengadakan penelitian di bidang geometri dari mekanika, dan dia juga salah seorang musikus muslim yang tebesar. Salah satu karyanya di bidang musik adalah kitab al-Musiqi al-Kabir. Kontribusi lain dari Al Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al Farabi telah memberikan defenisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu: logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian yaitu: bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi). Matematika juga beliau bagi dalam tujuh bagian. Buku Al Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul de Divisione Philosophae.
Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul de Scientiis atau de Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik, dan geologi. Al Farabi terkenal dengan doktrin wahda al wujud membagi hierarki wujud yaitu pertama, dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain. Kedua, para malaikat di bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain. Ketiga, benda-benda langit (angkasa), dan keempat berkaitan benda-benda bumi.
Al Farabi memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Kemudian dia mengenal Ibn Bajah, Ibn Tufail, dan Ibn Rusd yang hidup di Andalusia dan bergerak secara intensif dalam bidang kedokteran.
Ibn Rusd, mengarang buku yang berjudul Al-Kulliyat yang diterjemahkan ke dalam bahas Latin pada pertengatahan abad ketiga belas Masehi. Selanjutnya ada Muhammad Zakaria Al-Razi, dokter terbesar dalam Islam, beliau terkenal karena orisinalitasnya dan pandangannya yang jernih dan kemampuannya menemukan jenis-jenis penyakit yang belum dikenal sebelumnya. Kitabnya yang berjudul Al-Hawi merupakan kitab yang paling terkemuka di antara karya-karya kedokteran Arab yang diambil manfaatnya oleh bangsa Latin.[9]
Filosof lainnya adalah Ibnu Rushd (1126-1198) atau dikenal di barat Averroes yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah mengarang buku ilmu kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof. Ibnu Rusd juga dikenal sebagai ahli matematika dan fisika, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik dari sebuah benda yang lembam. Apa yang ditulis oleh ibn Rusd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.

[1] Lihat, Sitorus, Pengantar Sejarah Matematika dan Pembahuruan Pengajaran Matematika di Sekolah, (Bandung: PT. Tarsito, 1990), h, 94-95
[2] Lihat, Dr-Ing. Fahmi Amhar, TSQ Stories: Kisah-Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di masa peradaban Islam, (Bogor: Al Azhar Press, 2010), hlm.42
[3] Ibid, hlm. 42
[4] Ibid, h.99
[5] Konon dengan support atau dukungan Khalifah (penguasa pemerintahan islam), para penemu ilmu pengetahuan dan teknologi dihadiahkan emas (dinar) setebal buku hasil penemuan mereka. Sehingga, itulah salah satu yang memotifasi para ilmuan untuk berkembang dan menemukan sesuatu hal yang baru.
[6]Lihat, Sulaiman Nordin. Sains Menurut Perspektif Islam. Dewan Bahasa dan Pustaka. (Kuala Lumpur: PT. Dwi Rama, 2000), h. 75
[7] Lihat, C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam islam, alih bahasa: Hasan Basri, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002). Edisi II, hal 39-40.
[8] Lihat, Dr-Ing. Fahmi Amhar, op, cit, hlm.42
[9] Lihat, Ibrahim Madkoer, Op.cit, hal 120

Oleh: Muh. Didiharyono

0 komentar:

Posting Komentar