Siang ini
semua masih biasa dengan siang-siang sebelumnya. Siang ini masih terasa panas.
Siang ini matahari masih setia melakukan tugasnya. Siang ini ozon yang
membolong masih tetap tak mampu menahan sinar ultraviolet –malah bertambah
parah-
Tapi ada yang tidak biasa di siang ini. Dua gadis yang masih memakai seragam
sekolah mereka, kelihatan celingak-celinguk memperhatikan orang-orang yang
berseliweran di daerah lampu merah itu, seperti ada yang mereka cari.
“Jadi lo mau nge-riset tentang apa nich Sa?” satu dari dua gadis itu membuka
suara lebih dulu “gue kayaknya uda dapet dech” lanjutnya tapi dengan suara yang
mengandung keraguan.
“Belum tau Re, masih bingung gue” satunya lagi menanggapi dengan suara
bernada hampir putus asa “emang lo mau riset siapa?”
“Tapi lo jangan ketawa ya!?”
“Iya”
“Tuh..” gadis itu menunjuk ke arah laki-laki yang memakai dress bling-bling,
berdandan norak dan memakai wig.
Salsa langsung terkejut, tercengang, tak percaya dan bengong dalam waktu
bersamaan. Sesaat kemudian tak ada tanda-tanda dia mau menertawakan “pilihan”
yang akan di-riset oleh Rena. Dan memang dia tidak akan melakukan itu, yang
terjadi justru sebaliknya. Dia sangat takut dengan manusia peralihan seperti
itu.
“Sa….” Yang dipanggil tak menyahut. “SALSA!!” ulang Rena dengan nada
gila-gilaan, kontan yang dipanggil tersentak kaget.
“Apaan sich lo? Lo kira gue budek kayak elo?”
“Hehe, sory…. Abis lo dipanggil sekali gak ngeh. Kenapa sich liatin itu mas-mas
eh itu mbak-mbak sampe segitunya?”
“Gue masih trauma ama banci, karena waktu TK dulu gue hampir diculik ama
makhluk peralihan kayak gitu, untung aja ada yang jaga warung sekitar situ
curiga gue datarik-tarik masuk taksi, terus dia langsung teriak-teriak dan
ngedatangi gue terus ngerebut gue dari tu banci, jadinya selamat dech gue”
Dengan wajah
prihatin yang dibuat-buat Rena berkata dengan nada simpati, “Tragis amat kisah
lo sob, huhu, terharu gue. Kayak……cerita di sinetron. Hahahaha”
“Iyah, ketawa terus. Puas-puasin aja lo ngetawai gue” Tapi orang yang dimaksud
Salsa dalam sindirannya malah nyengir-nyegir kuda. “Lagian kenapa sich lo milih
makhluk peralihan gitu buat diwawancari dalam riset lo?”
“Yaaaa soalnya kan jarang banget tuh yang kepikiran kalau salah satu human
trafficking itu mbak jadi-jadian kayak gitu”
“Emmm gitu ya?”
“Gak usah pasang tampang oon gitu dech, karena muka lo uda oon dari sono nya”
Rena mencibir, sementara Salsa mendengus kesal. “Kan biasanya orang pada mikir
kalau makhluk peralihan kayak gitu tu pada suka mangkal bukannya ngamen di
traffic light kayak gini” lanjutnya kemudian dengan nada mantap, yang diberi
penjelasan cuma manggut-manggut aja.
“Iya deh, gue manut aja sama elo. Kalau gue bilang gak bisa habis pala gue lo
jitakin”
“Bagus, yauda yok!!” Rena menarik tangan Salsa.
“Eh….eh…. mau lo ajak ke mana gue?” Salsa mempertahankan posisinya
“Ya mau wawancarain tu mbak-mbak la”
“Ogah ah,” muka Salsa pucat “lo aja sendiri. Gue nunggu di sini”
“Lo gak kenapa-napa nunggu di sini sendirian?”
“Justru kalau gue ikut lo ke sana gue malah kenapa-napa. Mending gue di sini
aja dech, sekalian nyari-nyari inspirasi apa yang mau gue riset.”
“Ya uda, gue ke sana dulu ya..” Rena pergi ke arah mbak-mas itu.
Salsa menunggu Rena di tempat mereka mengintai tadi. Matanya tertuju ke depan,
namun telinganya masih dapat menangkap dialog Rena dengan makhluk yang
menjadi pobia-nya itu. Rena mulai memperkenalkan diri. Memperlihatkan identitas
diri dan surat ijin dari Pak Radit untuk melakukan riset ini. Dan mulailah
meluncur pertanyaan demi pertanyaan.
Di saat itulah, saat matanya tertuju kedepan itu, walaupun pandangannya
terhalang sesekali oleh mobil yang berseliweran, dia melihat sesuatu yang agak
menarik perhatiannya.
Agak menjorok ke dalam dari pasar besar, di arah menuju perkampungan kumuh,
berdiri sebuah tenda. Tenda sederhana yang hanya terdiri dari terpal biru yang
biasa dipakai oleh tukang angkut sayur di gerobaknya dan hanya di sangga oleh
tiang dari bambu seperlunya. Di bawah tenda itu tersusun meja-meja dan
kursi-kursi panjang-yang bisa diduduki oleh beberapa orang- yang sekarang
dihuni oleh anak-anak yang berpakaian kumal. Dan di depan mereka, ada seorang
pria seperti seorang guru, berdiri dan tampak menunjuk-nunjuk papan tulis
sambil menjelaskan sesuatu.
Dia penasaran. Sambil berjalan hendak menyeberangi jalan, dia sedikit berteriak
pada Rena “Re, gue ke sana bentar” katanya sambil menunjuk ke depan. Yang
diteriaki cuma mengangguk sekilas karena dia sendiri pun sedang berkonsentrasi
pada wawancaranya.
Dia berhasil sampai di seberang, dan segera melangkah mendekati tenda itu. Tapi
gadis itu tidak langsung mendatangi tenda itu. Dia berdiri mengamati dari jarak
yang cukup jelas untuk melihat ke sana dan tidak mengundang kecurigaan.
Tiba-tiba ada seorang ibu separuh baya berjalan hendak melawatinya. “Pas, ada
tempat untuk bertanya” pikirnya.
“Maaf buk, saya boleh nanyak?” Salsa langsung menghentikan langkah si ibu
begitu si ibu lewat di depannya.
“Mau nanyak ape neng?” Hwa, ternyata tu ibuk turunan betawi.
“Mmmm, itu kegiatan apa ya kalau boleh tau?”
“Oh ntu, ntu mah ude biyase tiap harinye begono. Anak-anak di mari pade belajar
bace ame nulis.”
“Hari minggu juga?”
“Iye, tapi kayaknye kalau hari minggu pade ngegambar atau buat-buat ape gitu.”
“Kira-kira mereka ngumpul gitu jam berapa ya buk?”
“Biyasenye sih sebelum zuhur tu anak-anak ude pade bedatangan, soalnye sebelum
belajar ntu guru pasti ngajak anak-anak shalat berjamaah di mushallah dekat
situ.”
“Oh gitu, kalau gitu makasih ya buk” Salsa menanggapi sambil tersenyum sama si
ibuk.
“Iye, same-same” Si ibuk pun menyahut sambil berlalu.
Salsa masih senyum, “Nice!!” serunya dalam hati. Dan dengan langkah riang, dia
kembali ke tempat dimana dia menunggu Rena tadi. Dan sekarang ganti Rena yang
menunggunya.
“Uda siap wawancaranya Re?” Salsa langsung bertanya pada Rena begitu dia
berhasil menyeberang kembali.
“Uda. Besok gue tinggal ngikuti kegiatannya dia, sambil dokumentasi beberapa
yang perlu. Habis itu gue bisa langsung nulis essay-nya.” Rena menjelaskan “Lo
sendiri gimana? Kayaknya cerah banget ni, uda dapat inspirasi ya?” Kali ini
Rena menebak sambil senyum.
“Hehe. Emang uda”
“Apaan?” Tanya Reena penasaran
“Lo liat dech Re, ke seberang jalan situ.”
Rena menajamkan penglihatan. Dilihatnya ke arah yang ditunjuk Salsa. Dan karena
memang Rena gak rabun, tentu saja yang dilihatnya sama persis seperti yang
diamati Salsa tadi.
“Pondok belajar anak-anak jalanan itu?” Rena mengernyitkan dahi, Salsa mengangguk.
“Bukannya tema kayak gitu uda biasa banget ya Sa?”
“Kalau temanya uda biasa, tapi cara mengamati, meriset dan nulisnya jadi essay
dengan cara yang berbeda, hasilnya jadi gak biasa kan?” Salsa meyakinkan Rena
“Iyah, kalau elo yang ngamati, ngeriset dan nulis essay-nya hasilnya memang
bakal jadi gak biasa. Jadi makin hancur dari kebanyakan orang yang uda nulis
itu, gitu kan maksud lo?”
Dug!!
Satu jitakan telak dari Salsa singgah di kepala Rena. Rena cuma bisa meringis
karena kesakitan, tapi sambil cengar-cengir. Senang juga dia karena berhasil
menggoda Salsa, temannya dari jaman masuk SMP dulu.
“Tega lo sama temen sendiri” tampang Salsa mulai memprihatinkan.
“Ouuu, cup cup. Maaf dech Sa. Jangan patah semangat gitu donk. Gue gak maksud
koq nyurutin semangat lo. Gue bakal nge-dukung apa pun yang bakalan lo lakuin
asal itu bener. Okey?” Rena membujuk Salsa “Keep Smile!”
Selalu ada maaf untuk teman. Seberapa besar pun kesalahannya, selalu ada celah
yang membuat kita tidak tahan berlama-lama mendiamkannya. Walaupun kadang dia
menjengkelkan, tapi justru dia yang menghadirkan tawa dalam hidup kita. Menyeka
air mata kita, memberi semangat saat kita jatuh, dan menawarkan sejuta
bantuannya saat kita terpuruk.
“Iyah deh. Besok kita ke sini lagi kan?” tampang memprihatinkan Salsa mulai
hilang dan perlahan digantikan oleh senyum.
“Jelas donk. Gue juga kan belum siap seluruhnya riset tentang mas-mas itu.
Lagipula gue kan mesti nemenin lo buat nyiapin riset lo.”
“Lo manggil dia mas-mas? Gak mbak-mbak lagi? Emang dia gak marah?”
“Dia bukan beneran banci lagi Sa, dia gitu cuma waktu ngamen doank. Lo tau gak,
ternyata dia itu uda mahasiswa. Dan dia ngamen buat nutupi kekurangan kiriman
orang tuanya di kampung tiap bulannya. Katanya sich, kalau dia ngamen bentuknya
dalam wujud asli alias cowok, orang-orang pada nyangka kalau di itu copet di
balik topeng pengamen. Makanya dia dandan gitu. Terus katanya lagi nih,
hasilnya lumayan juga, soalnya orang-orang pada ketawa kalau liat dia lagi
show, haha” Rena semangat banget dengan ceritanya.
“Menarik juga cerita tu orang.” Salsa bergumam “Pulang yuk Re, uda hampir jam
tiga nih. Ntar lo dicariin ibuk kost lo lagi.”
“Ya udah yuk”
Mereka berdua jalan ke arah dimana motor Salsa mereka parkirkan. Tanpa banyak
kata-kata lagi, Salsa memacu sepeda motornya dengan Rena di boncengan. Jilbab
keduanya melambai-lambai terkena tiupan angin.
Salsa terlebih dahulu mengantar Rena ke kost-annya. Setelah beramah tamah
sebentar dengan ibuk kostnya Rena, dia melanjutkan memacu motornya ke
arah rumahnya yang cuma berjarak satu kilometer dari kost-an Rena.
***
Seperti siang kemarin, sepulang sekolah dan terlebih dahulu menyempatkan diri
shalat zuhur di mushallah sekolah, kedua gadis itu kembali lagi ke daerah lampu
merah itu. Rena-seperti rencananya kemarin- mengikuti mas-mas yang berdandan
norak itu. Sementara Salsa kembali lagi ke pondok belajar itu. Tidak seperti
kemarin yang hanya mengamati, hari ini dia mendatangi pondok belajar itu. Tapi
tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada buku-buku lusuh dan pensil di atas
meja-meja, Koran-koran yang belum terjual bersama dagangan asongan di
sudut-sudut tenda.
“Mungkin lagi shalat” Salsa meyakinkan diri sendiri dalam hati “tunggu aja
dech”. Dan benar saja tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang
diiringi dengan celoteh anak-anak. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan
Salsa. Beberapa bahkan bertanya pada pria yang dianggap Salsa guru anak-anak
itu, “Kak, itu siapa?” Salsa tersenyum menanggapi kebingungan mata-mata di
depannya itu.
“Kalian duduk dulu ya di kursi masing-masing” anak-anak itu menurut pada guru
mereka.
“Sebentar mbak” Kemudian dia mengajak Salsa agak menepi.
“Kalau boleh tau…”
“Saya Salsa Nur Atifah” Salsa memotong perkataan laki-laki itu dengan
memperkenalkan diri tapi tanpa mengulurkan tangan. Dia yakin laki-laki di
hadapannya itu takkan tersinggung dengan yang dilakukannya, karena dia juga
yakin laki-laki ini paham dengan hal yang seperti itu, terbaca dari wajahnya
yang bercahaya.
“Saya Al Ghiffary”
“Mmmm, Saya dari SMA Pendiri Bangsa” Salsa menunjukkan KTS-nya
“Saya percaya koq, keliatan dari simbol kamu” Al menunjuk lengan kanan Salsa
sambil tersenyum “Itu kan sekolah-nya famous banget”
Salsa senyum, sambil menarik kembali KTS-nya. “Ngg, gini, sebagai tugas akhir
semester genap angkatan saya dapat tugas dari guru sosiologi kami mengenai
riset tentang jenjang sosial. Dan saya kebagian tema human trafficking. Jadi….”
“Jadi kamu mau riset pondok belajat dan anak-anak ini?” Sekarang ganti Al yang
memotong perkataan Salsa.
Salsa hanya mengangguk. “Huft…..untung dia ngerti, jadi gak capek-capek
ngejelasin” Salsa bersyukur dalam hati. “Ini surat ijin dari guru dan sekolah”
Salsa berkata sambil menyerahkan kertas yang dibagikan oleh Pak Radit di hari
dia memberikan tugas itu. Al mengangguk-angguk pelan.
“Oke, kamu boleh mengamati kegiatan kami di sini sampai essay kamu selesai” Al
cepat tanggap membaca isi surat itu
“Makasih” Salsa tersenyum lega dan puas. Al melanjutkan tugasnya seperti biasa,
menjelaskan pengetahuan-pengetahuan umum pada anak-anak jalanan itu dan
menjelaskan lebih men-detail bila ada yang bertanya. Disamping itu, dia masih
harus membimbing anak-anak yang masih buta huruf. Baik itu buta huruf latin
maupun buta huruf hijaiyah.
Sementara Salsa mengeluarkan note dan kamera digital yang dipinjamnya dari mas
Adit, kakak laki-laki Salsa satu-satunya. Dia mencatat hal-hal yang dianggapnya
perlu, pantas diingat dan pantas diikutsertakan dalam essay-nya nanti. Sesekali
dia mengabadikan cara anak-anak itu belajar dengan kameranya, ketika mereka
mengacungkan tangan untuk bertanya maupun menjawab pertanyaan dari Al, saat
wajah-wajah kebingungan mereka muncul ketika ada yang tidak dipahami dan tidak
dapat dicerna seluruhnya oleh otak anak-anak mereka dan lain sebagainya.
Hari menjelang sore. Anak-anak itu mulai memberesi buku-buku lusuh mereka dan
juga barang-barang dagangan mereka. Tak lama kemudian, anak-anak itu sudah
benar-benar bubar, ada yang sepertinya kembali ke rumah ada juga yang
melanjutkan menjajakan dagangannya lagi atau melanjutkan mengamennya. Tinggal
Al dan Salsa di pondok belajar itu.
“Gak bosen cuma liatin kami sambil nulis dan moto-moto doank?” Al membuka suara
“mmmm, hehe, sebenernya sich iya, bosen” aku Salsa malu.
“Kenapa besok gak nyoba aja ngajari mereka?”
“Ide bagus!!” sahut Salsa senang, tapi sedetik kemudian ada nada keraguan
“eeehh, emang boleh?” tanyanya takut-takut
“Ya jelas boleh la,” Al senyum “Kamu liat kan aku cuma sendiri ngajari mereka,
pasti bakalan bekurang repotnya kalau kamu bantuin, hehe. Walaupun ya cuma
beberapa hari ini”
“Aku dijadiin azas manfaat donk?” Salsa cemberut
“Haha, ya gak la. Kamu nanti bisa nulis bagian ini di essay kamu. Jadi untung
buat kamu juga kan?”
“mmmm, iya uga sich. Hehe, thanks ya, itu saran bagus banget” Salsa cerah kembali
“by the way, kita pake aku-kamu nih, gak saya-saya’an lagi?”
“Kenapa?” Al tersenyum geli
“Kayaknya kamu lebih tua dari aku, gak sopan kan kalau kamu-kamu’in yang lebih
tua”
“Emang aku setua itu apa, haha. Panggil kakak atau mas juga boleh dech”
Suasana mencair, Al lalu bercerita kalau dia mahasiswa jurusan psikologi tahun
pertama, yang berarti baru aja menuntaskan masa-masa SMA-nya tepat saat Salsa
baru merasakan masa-masa yang dirasakan Al dulu. Lalu tentang dia yang
mengajari anak-anak tiap hari, bagaimana awalnya dia tertarik mengabdikan diri
di sini, bagaimana dia menyesuaikan waktu kuliahnya dengan waktu mengajari
anak-anak itu, dan seterusnya, dan seterusnya.
Salsa sendiri heran mengapa dia bisa ngobrol sedekat ini dengan Al. padahal
dengan mas-nya sendiri aja-yang umurnya gak jauh beda dari Al- dia gak pernah
seperti ini.
Obrolan mereka memang dekat tapi bukan berarti jarak mereka duduk juga dekat.
Al duduk di bangku terdepan yang dianggap oleh anak-anak jalanan itu bangku
guru mereka, sementara Salsa duduk di kursi deretan kedua dimana anak-anak yang
barusan bubar tadi belajar. Sejak awal Salsa memang sudah yakin seperti apa Al.
Di saat mereka ngobrol, dan sesekali Salsa bertanya tentang risetnya, Rena
muncul. “Assalamualaikum” katanya
“Wa alaikum salam wa rahmatullah” Salsa dan Al menjawab serempak.
“Uda kelar Re?” Salsa bertanya
“Alhamdulillah uda, lo gimana?” Rena balik bertanya
“Kayaknya gue butuh waktu dua hari lagi buat ngamati di sini, sekalian
bantu-bantu kak Al ngajari anak-anak”
Rena mengerutkan dahinya.
“Oh iya, gue lupa” Salsa cengengesan “Re, ini kak Al. Yang tiap harinya ngajari
anak-anak disini. Kak, Ini Rena sahabat aku dari SMP, kebetulan kita dapat tema
yang sama” Rena menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil
tersenyum, begitu juga Al.
“Emang biasanya ngajari anak-anak itu selalu sendirian ya mas?” Tanya Rena
“Gak, biasanya gantian sama temen. Namanya kang Rahman, Tapi ini lagi gak bisa
masuk istrinya baru melahirkan” Rena ber-ooh.
Tanpa terasa waktu menjelang Ashar. Rena dan Salsa segera berpamitan pada Al.
Seperti kemarin, Salsa mengantar Rena terlebih dahulu baru kemudian lanjut ke
rumahnya.
***
Hari ini Salsa datang lagi ke pondok belajar itu, tapi ditemani Rena yang
riset-nya telah selesai. Setelah shalat berjamaah, proses belajar di mulai
seperti biasa. Tapi hari ini anak-anak itu lebih bersemangat. Karena Salsa dan
Rena membawa banyak buku-buku bacaan. Walaupun tidak baru, setidaknya buku-buku
tersebut masih layak di pakai.
Salsa terharu, agak teriris juga hatinya melihat anak-anak itu begitu senang
menerima buku darinya. Tampak bersyukur meskipun yang didapat bukanlah buku
baru. Sementara dirinya yang setiap bulan pasti mendapatkan koleksi buku
baru-karena Ayah Salsa punya kantor penerbitan buku sendiri- merasa biasa-biasa
saja. “Makasih ya kak” tak putus-putus anak-anak itu berterimaksih pada Salsa
dan Rena, diiringi dengan senyum tulus.
Sesuai dengan obrolan Salsa dengan Al kemarin, hari ini Salsa membantu
mengajari anak-anak. Dia mengajari anak-anak yang belum pandai membaca dengan
huruf latin. Sementara Rena yang bacaan Al-Qur’annya dianngap Salsa lebih fasih
daripada dirinya sendiri, dibujuk Salsa agar mengajari anak yang belum pandai
membaca dengan huruf hijaiyah. Tentu saja Rena senang. Setiap ada kesempatan
dakwah, mengajari yang baik, Rena tak pernah ketinggalan. Mungkin itulah
sebabnya teman-teman dan kakak-kakak kelas banyak yang memilihnya untuk menjadi
ketua rohis.
“Kak, kenapa kakak nutupi kepala pake kain gitu?” Tanya seorang anak perempuan
berambut ikal pada Salsa dan Rena.
“Ini ajaran agama kita sayang. Wajib hukumnya bagi setiap muslim memakai
jilbab” Rena menjawab dengan senyum
“Ibaratnya gini, kamu punya mainan yang berharga dan indah, pasti kamu
gak mau setiap orang bebas memainkannya, karena nanti bisa kotor, hilang atau
sebagainya. Tapi bukan berarti pelit ya sayang. Kita cuma mau menjaga apa yang
seharusnya kita jaga dari orang banyak. Mungkin sekarang kamu belum ngerti
sepenuhnya, tapi nanti lama-kelamaan kamu akan ngerti sendiri.” Sambung Salsa
dengan senyum juga
“Aku juga mau pake jilbab” anak perempuan tadi menyahut
“Aku juga”
“Aku juga” anak-anak perempuan lainnya ikut menyahut
“Subhanallah” Salsa dan Rena takjub sendiri dalam hati
“Tapi…” anak perempuan yang bertanya tadi mendadak sedih “kita gak punya baju
panjang dan jilbab seperi itu kak
“Kalian mau pakai jilbab aja itu sudah bagus.” Senyum Rena makin mengembang
“Insya Allah besok kakak bawakan baju yang layak untuk kalian pakai ya”
Anak-anak perempuan itu bersorak kegirangan. Salsa dan Rena ikut bahagia.
Memang kebahagiaan itu akan lebih bermakna, jika kita membaginya dengan orang
lain. Bisa tersenyum bersama bahkan bisa lebih disyukuri daripada dapat undian
mobil Avanza tapi hanya tersenyum sendirian. Diam-diam Al pun ikut tersenyum
menyaksikan kejadian itu.
***
Esoknya, sesuai janjinya kemarin, Rena membawa pakaian muslim anak-anak satu
dus besar di tambah satu kantong plastik yang berukuran agak besar juga
berisikan jilba-jilbab. Bukan hanya anak perempuan saja yang kebagian, tapi
anak laki-laki juga.
“Dari mana baju sebanyak itu Re” Salsa bingung sendiri
“Hehe, semalam kan Ummi gue nengokin gue ke sini. Nah, malamnya itu gue telpon
dulu, bilang kalau lagi butuh baju muslim anak buat dibagi-bagiin. Kebetulan
kemarinnya itu habis ada yang donor baju banyak banget, uda dibagi-bagiin ke
seluruh anak panti masih belebih, Ya uda deh jadi disalurin ke mari.” Senyum
Rena mengembang
Ummi-nya Rena memang mendirikan sebuah panti asuhan disamping rumah mereka.
Kadang Salsa berpikir, pantas saja rejeki mereka selalu mengalir, karena mereka
memelihara anak yatim.
Karena hari ini hari terakhir yang dijadwalkan Salsa sebagai waktu risetnya,
dia seperti tak ingin melewatkan sedetik pun kejadian di pondok belajar ini.
Dia mengambil gambar semakin banyak dari biasanya, jarang mengedipkan mata dan
selalu memekakan diri terhadap anak-anak yang butuh bantuan.
“Kamu boleh koq ke sini lagi walaupun gak dalam rangka riset lagi, kami gak
akan menolak kamu maupun Rena. Malah kami bersyukur karena pondok ini semakin
ramai karena ada kalian” Al seperti bisa membaca setiap gerakan Salsa.
Dikatakannya kalimat itu ketika anal-anak sudah bubar
“Beneran??” mata Salsa berbinar dan di bibirnya terukir senyum. Al mengangguk.
“Makasih ya” sambung Salsa lagi.
“Aku juga makasih ya sama kamu sama Rena juga. Uda bikin anak-anak ceria dalam
beberapa hari ini” ucap Al tulus, sekarang gantian Salsa mengangguk.
“Kita pulang sekarang Sa?” Rena yang baru dari kamar kecil muncul dan bertanya
tiba-tiba
“Mmmm, boleh. Yuk…” Salsa bangkit dari duduknya “Kak, kita pulang dulu ya,
mungkin besok kita belum bisa ke sini, karena besok pengumpulan tugasnya”
“Iya, gak papa. Berarti nanti malam donk nyusun essay-nya. Good luck ya”
lagi-lagi Al tersenyum tulus. Salsa mengangguk lalu mengucap salam dan berlalu
bersama Rena. Sesaat rasa sepi membayangi Al.
***
Seperti yang dikatakan Al, malam ini Salsa menyusun essay nya,
diikutsertakannya juga foto-foto yang diambilnya beberapa hari ini. Karena
tugas kali ini berbentuk essay, Salsa bebas menuangkan apa yang dirasakannya
selama tiga hari yang membuatnya lebih bersyukur akan hidupnya itu. Sementara
Rena, essay-nya sudah selesai dari kemarin.
Pak Radit sangat puas dengan hasil riset kedua gadis itu. Dia berniat
berkunjung ke pondok belajar yang ditulus Salsa dalam essay-nya. Dan niat itu
tak lama-lama hanya berkumandang di mulut saja, karena besoknya ditemani kedua
gadis itu, Pak Radit berkunjung ke pondok belajar Al. Dia membawa banyak
coklat, coklat yang hanya dibagikan untuk anak-anak yang berani berbicara di
depan kelas. Dan juga banyak buku-buku bacaan.
Menjelang Ashar, Salsa dan Rena pamitan. Sebelum mereka benar-benar pergi, Al
memanggil Salsa “Sa, boleh minta nomer handphone kamu? Aku pengen belajar dari
kamu gimana caranya membagi kebahagiaan dengan orang lain, kayak kamu bisa
bikin bahagia anak-anak itu” Salsa senyum, disebutkannya sederet nomor ponsel.
Perjalanan Salsa pulang ke rumah, di lihatnya sore ini lebih cerah dan indah
dari sore-sore yang kemarin. Tak henti-hentinya dia tersenyum. Begitu juga
dengan Al. Salsa membayangkan setelah ini hari-harinya akan terisi oleh celoteh
anak-anak di pondok belajar itu, juga…. Senyuman tulus Al.