"Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat."

Sabtu, 21 April 2012

Remaja Islam, Remaja Dakwah

Dakwah? Hmm.. kok kayaknya berat banget kedengarannya ya? Lho, emangnya kenapa? Sebagian teman remaja biasanya denger atau ngucapin kata dakwah terasa sangat berat. Telinga pekak en lidah kelu dan yang terbayang di benaknya pasti urusannya dengan jenggot, kopiah, baju koko, sarung, dan jilbab. Well. Nggak salah-salah amat sih. Cuma nggak lengkap penilaiannya.

Lagian juga terkesan adanya pemisahan antara dakwah dan kehidupan umum, gitu lho. Kesannya kalo dakwah adalah bagiannya mereka yang ada di kalangan pesantren atau anak-anak ngaji aja. Anak-anak nongkrong sih nggak tepat kalo berurusan dengan dakwah. Dakwah kesannya jadi tugas mereka yang hobinya dengerin lagu-lagu nasyid macam Demi Masa-nya Raihan. Bukan tugas anak-anak yang hobinya dengerin lagu-lagu pop macam Terima Kasih Cinta-nya Afgan. Halah, itu salah banget, Bro. Nggak gitu deh seharusnya. Sumpah.

Gini nih, sebenarnya urusan dakwah atau tugas dakwah jadi tanggung jawab bersama seluruh kaum muslimin. Cuma, karena tugas dakwah ini cukup berat dan nggak semua orang bisa tahan menunaikannya, jadinya dakwah secara tidak langsung diserahkan kepada mereka yang ngerti aja. Anggapan seperti ini insya Allah nggak salah. Cuma, kalo dengan alasan seperti ini lalu kaum muslimin yang belum ngerti atau masih awam tentang Islam jadi bebas untuk nggak berdakwah, atau nggak mau terjun dalam dakwah, itu tentu salah, Bro. Why? Karena tetap aja punya kewajiban untuk belajar. Tetap punya kewajiban mencari ilmu. Jadi, nggak bisa bebas juga kan? Malah kalo nekat nggak mau belajar dan nggak mencari ilmu, hal itu dinilai berdosa, man! Bener.

Baginda kita, Rasulullah Muhammad saw. bahkan menyatakan bahwa aktivitas belajar dan mencari ilmu adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Kalo mencari ilmu itu adalah wajib, berarti bagi yang nggak mencari ilmu selama hidupnya, jelas berdosa dong. Allah Swt. bahkan menjamin orang-orang yang beriman dan berilmu akan diberikan derajat lebih tinggi dibanding orang yang nggak berilmu (apalagi nggak beriman). Firman Allah Swt.:

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujâdalah [58]: 11)

Bro, emang bener banget. Urusan dakwah ini sangat erat hubungannya dengan tingkat keilmuan. Dakwah itu jelas membutuhkan ilmu. Jadi, betul kalo dikatakan bahwa tugas berdakwah hanya diberikan kepada mereka yang udah menguasai ilmu agama. Tapi, buat kita yang belum menguasai ilmu agama secara mantap bukan berarti nggak ada kewajiban dakwah. Sebab, rasa-rasanya untuk ukuran sekarang nih, nggak mungkin banget ada kaum muslimin yang nggak ngerti sama sekali tentang Islam. Pasti deh, satu keterangan atau dua keterangan dalam ajaran agama Islam sudah pernah didengarnya dan menjadi pengetahuannya. So, sebenarnya tetap punya kewajiban nyampein dakwah meskipun cuma sedikit yang diketahui. Kalo pengen lebih banyak tahu tentang Islam, ya tentu saja kudu belajar lagi dan mencari ilmu lagi. Sederhana banget kan solusinya? Insya Allah kamu pasti bisa ngejalaninya, asal kamu mau. Yakin deh.

Mengapa dakwah itu wajib?

Jawabnya gini, sebab Islam adalah agama dakwah. Salah satu inti dari ajaran Islam memang perintah kepada umatnya untuk berdakwah, yakni mengajak manusia kepada jalan Allah (tauhid) dengan hikmah (hujjah atau argumen). Kepedulian terhadap dakwah jugalah yang menjadi trademark seorang mukmin. Artinya, orang mukmin yang cuek-bebek sama dakwah berarti bukan mukmin sejati. Bener, lho. Apa iya kamu tega kalo ada teman kamu yang berbuat maksiat kamu diemin aja? Nggak mungkin banget kan kalo ada temen yang sedang berada di bibir jurang dan hampir jatuh, nggak kamu tolongin. Iya nggak sih?

Boys and gals, bahkan Allah memuji aktivitas dakwah ini sebagai aktivitas yang mulia, lho. FirmanNya:

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim” (QS Fushshilat [41]: 33)

Dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berdakwah. Seperti dalam firmanNya:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125)

Menyeru kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah dari perbuatan munkar merupakan identitas seorang muslim. Itu sebabnya, Islam begitu dinamis. Buktinya, mampu mencapai hingga sepertiga dunia. Itu artinya, hampir seluruh penghuni daratan di dunia ini pernah hidup bersama Islam. Kamu tahu, ketika kita belajar ilmu bumi, disebutkan bahwa dunia ini terdiri dari sepertiga daratan dan dua pertiga lautan. Wah, hebat juga ya para pendahulu kita? Betul, sebab mereka memiliki semangat yang tinggi untuk menegakkan kalimat “tauhid” di bumi ini. Sesuai dengan seruan Allah (yang artinya): “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 193)

Kini, di jaman yang udah jauh berubah ketimbang di “jaman onta”, arus informasi makin sulit dikontrol. Internet misalnya, telah mampu memberikan nuansa budaya baru. Kecepatan informasi yang disampaikannya ibarat pisau bermata dua. Bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Celakanya, ternyata kita kudu ngurut dada lama-lama, bahwa kenyataan yang harus kita hadapi dan rasakan adalah lunturnya nilai-nilai ajaran Islam di kalangan kaum muslimin. Tentu ini akibat informasi rusak yang telah meracuni pikiran dan perasaan kita. Utamanya remaja muslim. Kita bisa saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa banyak teman remaja yang tergoda dengan beragam rayuan maut peradaban Barat seperti seks bebas, narkoba, dan beragam kriminalitas. Walhasil, amburadul deh!

Itu sebabnya, sekarang pun dakwah menjadi sarana sekaligus senjata untuk membendung arus budaya rusak yang akan menggerus kepribadian Islam kita. Kita lawan propaganda mereka dengan proganda kembali. Perang pemikiran dan perang kebudayaan ini hanya bisa dilawan dengan pemikiran dan budaya Islam. Yup, kita memang selalu “ditakdirkan” untuk melawan kebatilan dan kejahatan.

Sobat muda muslim, Islam membutuhkan tenaga, harta, dan bahkan nyawa kita untuk menegakkan agama Allah ini. Dengan aktivitas dakwah yang kita lakukan, maka kerusakan yang tengah berlangsung ini masih mungkin untuk dihentikan, bahkan kita mampu untuk membangun kembali kemuliaan ajaran Islam dan mengokohkannya. Tentu, semua ini bergantung kepada partisipasi kita dalam dakwah ini.

Coba, apa kamu nggak risih dengan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja? Apa kamu nggak merasa was-was dengan tingkat kriminalitas pelajar yang makin tinggi? Apa kamu nggak kesel ngeliat tingkah remaja yang hidupnya nggak dilandasi dengan ajaran Islam? Seharusnya masalah-masalah model beginilah yang menjadi perhatian kita siang dan malam. Beban yang seharusnya bisa mengambil jatah porsi makan kita, beban yang seharusnya menggerogoti waktu istirahat kita, dan beban yang senantiasa membuat pikiran dan perasaan kita nggak tenang kalo belum berbuat untuk menyadarkan kaum muslimin yang lalai.

Untuk ke arah sana, tentu membutuhkan kerjasama yang solid di antara kita. Sebab, kita menyadari bahwa kita bukanlah manusia super yang bisa melakukan aksi menumpas kejahatan hanya dengan seorang diri. Kalo kita ingin cepat membereskan berbagai persoalan tentu butuh kerjasama yang apik, solid dan fokus pada masalah. Pemikiran dan perasaan di antara kita kudu disatukan dengan ikatan akidah Islam yang lurus dan benar. Kita harus satu persepsi, bahwa Islam harus tegak di muka bumi ini. Kita harus memiliki cita-cita, bahwa Islam harus menjadi nomor satu di dunia untuk mengalahkan segala bentuk kekufuran. Itulah di antaranya kenapa kita wajib berdakwah, Bro. Semoga kamu paham.

Dakwah itu tanda cinta

Bro en Sis, seharusnya kita menyambut baik orang-orang yang mau meluangkan waktu dan mengorbankan tenaganya untuk dakwah menyampaikan kebenaran Islam. Sebab, melalui merekalah kita jadi banyak tahu tentang Islam. Kita secara tidak langsung diselamatkan oleh seruan mereka yang awalnya kita rasakan sebagai bentuk ‘kecerewetan’ mereka yang berani ngatur-ngatur urusan orang lain. Padahal, justru itu tanda cinta dari sesama kaum muslimin yang nggak ingin melihat saudaranya menderita gara-gara nggak kenal Islam dan nggak taat sama syariatnya.

Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Sobat, dakwah adalah darah dan napas kehidupan Islam. Itu sebabnya, kita yang masih remaja pun dituntut untuk mampu tampil sebagai pengemban dakwah yang handal. Kita khawatir banget, seandainya di dunia ini nggak ada orang-orang yang menyerukan dakwah Islam, bagaimana masa depan kehidupan umat manusia nanti? Jangan sampe Islam dan umat ini hanya tinggal “kenangan”. Yuk, kita kaji Islam biar mantap dan semangat mendakwahkannya. 




Baca artikel Cerpen cerpen nya !!

3 Hari Bersama Mereka


Siang ini semua masih biasa dengan siang-siang sebelumnya. Siang ini masih terasa panas. Siang ini matahari masih setia melakukan tugasnya. Siang ini ozon yang membolong masih tetap tak mampu menahan sinar ultraviolet –malah bertambah parah-

Tapi ada yang tidak biasa di siang ini. Dua gadis yang masih memakai seragam sekolah mereka, kelihatan celingak-celinguk memperhatikan orang-orang yang berseliweran di daerah lampu merah itu, seperti ada yang mereka cari.
“Jadi lo mau nge-riset tentang apa nich Sa?” satu dari dua gadis itu membuka suara lebih dulu “gue kayaknya uda dapet dech” lanjutnya tapi dengan suara yang mengandung keraguan.
“Belum tau  Re, masih bingung gue” satunya lagi menanggapi dengan suara bernada hampir putus asa “emang lo mau riset siapa?”
“Tapi lo jangan ketawa ya!?”
“Iya”
“Tuh..” gadis itu menunjuk ke arah laki-laki yang memakai dress bling-bling, berdandan norak dan memakai wig.

Salsa langsung terkejut, tercengang, tak percaya dan bengong dalam waktu bersamaan. Sesaat kemudian tak ada tanda-tanda dia mau menertawakan “pilihan” yang akan di-riset oleh Rena. Dan memang dia tidak akan melakukan itu, yang terjadi justru sebaliknya. Dia sangat takut dengan manusia peralihan seperti itu.
“Sa….” Yang dipanggil tak menyahut. “SALSA!!” ulang Rena dengan nada gila-gilaan, kontan yang dipanggil tersentak kaget.
“Apaan sich lo? Lo kira gue budek kayak elo?”
“Hehe, sory…. Abis lo dipanggil sekali gak ngeh. Kenapa sich liatin itu mas-mas eh itu mbak-mbak sampe segitunya?”
“Gue masih trauma ama banci, karena waktu TK dulu gue hampir diculik ama makhluk peralihan kayak gitu, untung aja ada yang jaga warung sekitar situ curiga gue datarik-tarik masuk taksi, terus dia langsung teriak-teriak dan ngedatangi gue terus ngerebut gue dari tu banci, jadinya selamat dech gue”

Dengan wajah prihatin yang dibuat-buat Rena berkata dengan nada simpati, “Tragis amat kisah lo sob, huhu, terharu gue. Kayak……cerita di sinetron. Hahahaha”
“Iyah, ketawa terus. Puas-puasin aja lo ngetawai gue” Tapi orang yang dimaksud Salsa dalam sindirannya malah nyengir-nyegir kuda. “Lagian kenapa sich lo milih makhluk peralihan gitu buat diwawancari dalam riset lo?”
“Yaaaa soalnya kan jarang banget tuh yang kepikiran kalau salah satu human trafficking itu mbak jadi-jadian kayak gitu”
“Emmm gitu ya?”
“Gak usah pasang tampang oon gitu dech, karena muka lo uda oon dari sono nya” Rena mencibir, sementara Salsa mendengus kesal. “Kan biasanya orang pada mikir kalau makhluk peralihan kayak gitu tu pada suka mangkal bukannya ngamen di traffic light kayak gini” lanjutnya kemudian dengan nada mantap, yang diberi penjelasan cuma manggut-manggut aja.
“Iya deh, gue manut aja sama elo. Kalau gue bilang gak bisa habis pala gue lo jitakin”
“Bagus, yauda yok!!” Rena menarik tangan Salsa.
“Eh….eh…. mau lo ajak ke mana gue?” Salsa mempertahankan posisinya
“Ya mau wawancarain tu mbak-mbak la”
“Ogah ah,” muka Salsa pucat “lo aja sendiri. Gue nunggu di sini”
“Lo gak kenapa-napa nunggu di sini sendirian?”
“Justru kalau gue ikut lo ke sana gue malah kenapa-napa. Mending gue di sini aja dech, sekalian nyari-nyari inspirasi apa yang mau gue riset.”
“Ya uda, gue ke sana dulu ya..” Rena pergi ke arah mbak-mas itu.

Salsa menunggu Rena di tempat mereka mengintai tadi. Matanya tertuju ke depan, namun telinganya  masih dapat menangkap dialog Rena dengan makhluk yang menjadi pobia-nya itu. Rena mulai memperkenalkan diri. Memperlihatkan identitas diri dan surat ijin dari Pak Radit untuk melakukan riset ini. Dan mulailah meluncur pertanyaan demi pertanyaan.

Di saat itulah, saat matanya tertuju kedepan itu, walaupun pandangannya terhalang sesekali oleh mobil yang berseliweran, dia melihat sesuatu yang agak menarik perhatiannya.

Agak menjorok ke dalam dari pasar besar, di arah menuju perkampungan kumuh, berdiri sebuah tenda. Tenda sederhana yang hanya terdiri dari terpal biru yang biasa dipakai oleh tukang angkut sayur di gerobaknya dan hanya di sangga oleh tiang dari bambu seperlunya. Di bawah tenda itu tersusun meja-meja dan kursi-kursi panjang-yang bisa diduduki oleh beberapa orang- yang sekarang dihuni oleh anak-anak yang berpakaian kumal. Dan di depan mereka, ada seorang pria seperti seorang guru, berdiri dan tampak menunjuk-nunjuk papan tulis sambil menjelaskan sesuatu.

Dia penasaran. Sambil berjalan hendak menyeberangi jalan, dia sedikit berteriak pada Rena “Re, gue ke sana bentar” katanya sambil menunjuk ke depan. Yang diteriaki cuma mengangguk sekilas karena dia sendiri pun sedang berkonsentrasi pada wawancaranya.

Dia berhasil sampai di seberang, dan segera melangkah mendekati tenda itu. Tapi gadis itu tidak langsung mendatangi tenda itu. Dia berdiri mengamati dari jarak yang cukup jelas untuk melihat ke sana dan tidak mengundang kecurigaan. Tiba-tiba ada seorang ibu separuh baya berjalan hendak melawatinya. “Pas, ada tempat untuk bertanya” pikirnya.
“Maaf buk, saya boleh nanyak?” Salsa langsung  menghentikan langkah si ibu begitu si ibu lewat di depannya.
“Mau nanyak ape neng?” Hwa, ternyata tu ibuk turunan betawi.
“Mmmm, itu kegiatan apa ya kalau boleh tau?”
“Oh ntu, ntu mah ude biyase tiap harinye begono. Anak-anak di mari pade belajar bace ame nulis.”
“Hari minggu juga?”
“Iye, tapi kayaknye kalau hari minggu pade ngegambar atau buat-buat ape gitu.”
“Kira-kira mereka ngumpul gitu jam berapa ya buk?”
“Biyasenye sih sebelum zuhur tu anak-anak ude pade bedatangan, soalnye sebelum belajar ntu guru pasti ngajak anak-anak shalat berjamaah di mushallah dekat situ.”
“Oh gitu, kalau gitu makasih ya buk” Salsa menanggapi sambil tersenyum sama si ibuk.
“Iye, same-same” Si ibuk pun menyahut sambil berlalu.

Salsa masih senyum, “Nice!!” serunya dalam hati. Dan dengan langkah riang, dia kembali ke tempat dimana dia menunggu Rena tadi. Dan sekarang ganti Rena yang menunggunya.
“Uda siap wawancaranya Re?” Salsa langsung bertanya pada Rena begitu dia berhasil menyeberang kembali.
“Uda. Besok gue tinggal ngikuti kegiatannya dia, sambil dokumentasi beberapa yang perlu. Habis itu gue bisa langsung nulis essay-nya.” Rena menjelaskan “Lo sendiri gimana? Kayaknya cerah banget ni, uda dapat inspirasi ya?” Kali ini Rena menebak sambil senyum.
“Hehe. Emang uda”
“Apaan?” Tanya Reena penasaran
“Lo liat dech Re, ke seberang jalan situ.”

Rena menajamkan penglihatan. Dilihatnya ke arah yang ditunjuk Salsa. Dan karena memang Rena gak rabun, tentu saja yang dilihatnya sama persis seperti yang diamati Salsa tadi.
“Pondok belajar anak-anak jalanan itu?” Rena mengernyitkan dahi, Salsa mengangguk. “Bukannya tema kayak gitu uda biasa banget ya Sa?”
“Kalau temanya uda biasa, tapi cara mengamati, meriset dan nulisnya jadi essay dengan cara yang berbeda, hasilnya jadi gak biasa kan?” Salsa meyakinkan Rena
“Iyah, kalau elo yang ngamati, ngeriset dan nulis essay-nya hasilnya memang bakal jadi gak biasa. Jadi makin hancur dari kebanyakan orang yang uda nulis itu, gitu kan maksud lo?”

Dug!!
Satu jitakan telak dari Salsa singgah di kepala Rena. Rena cuma bisa meringis karena kesakitan, tapi sambil cengar-cengir. Senang juga dia karena berhasil menggoda Salsa, temannya dari jaman masuk SMP dulu.
“Tega lo sama temen sendiri” tampang Salsa mulai memprihatinkan.
“Ouuu, cup cup. Maaf dech Sa. Jangan patah semangat gitu donk. Gue gak maksud koq nyurutin semangat lo. Gue bakal nge-dukung apa pun yang bakalan lo lakuin asal itu bener. Okey?” Rena membujuk Salsa “Keep Smile!”

Selalu ada maaf untuk teman. Seberapa besar pun kesalahannya, selalu ada celah yang membuat kita tidak tahan berlama-lama mendiamkannya. Walaupun kadang dia menjengkelkan, tapi justru dia yang menghadirkan tawa dalam hidup kita. Menyeka air mata kita, memberi semangat saat kita jatuh, dan menawarkan sejuta bantuannya saat kita terpuruk.
“Iyah deh. Besok kita ke sini lagi kan?” tampang memprihatinkan Salsa mulai hilang dan perlahan digantikan oleh senyum.
“Jelas donk. Gue juga kan belum siap seluruhnya riset tentang mas-mas itu. Lagipula gue kan mesti nemenin lo buat nyiapin riset lo.”
“Lo manggil dia mas-mas? Gak mbak-mbak lagi? Emang dia gak marah?”
“Dia bukan beneran banci lagi Sa, dia gitu cuma waktu ngamen doank. Lo tau gak, ternyata dia itu uda mahasiswa. Dan dia ngamen buat nutupi kekurangan kiriman orang tuanya di kampung tiap bulannya. Katanya sich, kalau dia ngamen bentuknya dalam wujud asli alias cowok, orang-orang pada nyangka kalau di itu copet di balik topeng pengamen. Makanya dia dandan gitu. Terus katanya lagi nih, hasilnya lumayan juga, soalnya orang-orang pada ketawa kalau liat dia lagi show, haha” Rena semangat banget dengan ceritanya.
“Menarik juga cerita tu orang.” Salsa bergumam “Pulang yuk Re, uda hampir jam tiga nih. Ntar lo dicariin ibuk kost lo lagi.”
“Ya udah yuk”

Mereka berdua jalan ke arah dimana motor Salsa mereka parkirkan. Tanpa banyak kata-kata lagi, Salsa memacu sepeda motornya dengan Rena di boncengan. Jilbab keduanya melambai-lambai terkena tiupan angin.

Salsa terlebih dahulu mengantar Rena ke kost-annya. Setelah beramah tamah sebentar dengan ibuk kostnya Rena, dia melanjutkan memacu motornya ke arah  rumahnya yang cuma berjarak satu kilometer dari kost-an Rena.
***

Seperti siang kemarin, sepulang sekolah dan terlebih dahulu menyempatkan diri shalat zuhur di mushallah sekolah, kedua gadis itu kembali lagi ke daerah lampu merah itu. Rena-seperti rencananya kemarin- mengikuti mas-mas yang berdandan norak itu. Sementara Salsa kembali lagi ke pondok belajar itu. Tidak seperti kemarin yang hanya mengamati, hari ini dia mendatangi pondok belajar itu. Tapi tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada buku-buku lusuh dan pensil di atas meja-meja, Koran-koran yang belum terjual bersama dagangan asongan di sudut-sudut tenda.
“Mungkin lagi shalat” Salsa meyakinkan diri sendiri dalam hati “tunggu aja dech”. Dan benar saja tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang diiringi dengan celoteh anak-anak. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan Salsa. Beberapa bahkan bertanya pada pria yang dianggap Salsa guru anak-anak itu, “Kak, itu siapa?” Salsa tersenyum menanggapi kebingungan mata-mata di depannya itu.
“Kalian duduk dulu ya di kursi masing-masing” anak-anak itu menurut pada guru mereka.
“Sebentar mbak” Kemudian dia mengajak Salsa agak menepi.
“Kalau boleh tau…”
“Saya Salsa Nur Atifah” Salsa memotong perkataan laki-laki itu dengan memperkenalkan diri tapi tanpa mengulurkan tangan. Dia yakin laki-laki di hadapannya itu takkan tersinggung dengan yang dilakukannya, karena dia juga yakin laki-laki ini paham dengan hal yang seperti itu, terbaca dari wajahnya yang bercahaya.
“Saya Al Ghiffary”
“Mmmm, Saya dari SMA Pendiri Bangsa” Salsa menunjukkan KTS-nya
“Saya percaya koq, keliatan dari simbol kamu” Al menunjuk lengan kanan Salsa sambil tersenyum “Itu kan sekolah-nya famous banget”

Salsa senyum, sambil menarik kembali KTS-nya. “Ngg, gini, sebagai tugas akhir semester genap angkatan saya dapat tugas dari guru sosiologi kami mengenai riset tentang jenjang sosial. Dan saya kebagian tema human trafficking. Jadi….”
“Jadi kamu mau riset pondok belajat dan anak-anak ini?” Sekarang ganti Al yang memotong perkataan Salsa.

Salsa hanya mengangguk. “Huft…..untung dia ngerti, jadi gak capek-capek ngejelasin” Salsa bersyukur dalam hati. “Ini surat ijin dari guru dan sekolah” Salsa berkata sambil menyerahkan kertas yang dibagikan oleh Pak Radit di hari dia memberikan tugas itu. Al mengangguk-angguk pelan.
“Oke, kamu boleh mengamati kegiatan kami di sini sampai essay kamu selesai” Al cepat tanggap membaca isi surat itu
“Makasih” Salsa tersenyum lega dan puas. Al melanjutkan tugasnya seperti biasa, menjelaskan pengetahuan-pengetahuan umum pada anak-anak jalanan itu dan menjelaskan lebih men-detail bila ada yang bertanya. Disamping itu, dia masih harus membimbing anak-anak yang masih buta huruf. Baik itu buta huruf latin maupun buta huruf hijaiyah.

Sementara Salsa mengeluarkan note dan kamera digital yang dipinjamnya dari mas Adit, kakak laki-laki Salsa satu-satunya. Dia mencatat hal-hal yang dianggapnya perlu, pantas diingat dan pantas diikutsertakan dalam essay-nya nanti. Sesekali dia mengabadikan cara anak-anak itu belajar dengan kameranya, ketika mereka mengacungkan tangan untuk bertanya maupun menjawab pertanyaan dari Al, saat wajah-wajah kebingungan mereka muncul ketika ada yang tidak dipahami dan tidak dapat dicerna seluruhnya oleh otak anak-anak mereka dan lain sebagainya.

Hari menjelang sore. Anak-anak itu mulai memberesi buku-buku lusuh mereka dan juga barang-barang dagangan mereka. Tak lama kemudian, anak-anak itu sudah benar-benar bubar, ada yang sepertinya kembali ke rumah ada juga yang melanjutkan menjajakan dagangannya lagi atau melanjutkan mengamennya. Tinggal Al dan Salsa di pondok belajar itu.
“Gak bosen cuma liatin kami sambil nulis dan moto-moto doank?” Al membuka suara
“mmmm, hehe, sebenernya sich iya, bosen” aku Salsa malu.
“Kenapa besok gak nyoba aja ngajari mereka?”
“Ide bagus!!” sahut Salsa senang, tapi sedetik kemudian ada nada keraguan “eeehh, emang boleh?” tanyanya takut-takut
“Ya jelas boleh la,” Al senyum “Kamu liat kan aku cuma sendiri ngajari mereka, pasti bakalan bekurang repotnya kalau kamu bantuin, hehe. Walaupun ya cuma beberapa hari ini”
“Aku dijadiin azas manfaat donk?” Salsa cemberut
“Haha, ya gak la. Kamu nanti bisa nulis bagian ini di essay kamu. Jadi untung buat kamu juga kan?”
“mmmm, iya uga sich. Hehe, thanks ya, itu saran bagus banget” Salsa cerah kembali “by the way, kita pake aku-kamu nih, gak saya-saya’an lagi?”
“Kenapa?” Al tersenyum geli
“Kayaknya kamu lebih tua dari aku, gak sopan kan kalau kamu-kamu’in yang lebih tua”
“Emang aku setua itu apa, haha. Panggil kakak atau mas juga boleh dech”

Suasana mencair, Al lalu bercerita kalau dia mahasiswa jurusan psikologi tahun pertama, yang berarti baru aja menuntaskan masa-masa SMA-nya tepat saat Salsa baru merasakan masa-masa yang dirasakan Al dulu. Lalu tentang dia yang mengajari anak-anak tiap hari, bagaimana awalnya dia tertarik mengabdikan diri di sini, bagaimana dia menyesuaikan waktu kuliahnya dengan waktu mengajari anak-anak itu, dan seterusnya, dan seterusnya.

Salsa sendiri heran mengapa dia bisa ngobrol sedekat ini dengan Al. padahal dengan mas-nya sendiri aja-yang umurnya gak jauh beda dari Al- dia gak pernah seperti ini.

Obrolan mereka memang dekat tapi bukan berarti jarak mereka duduk juga dekat. Al duduk di bangku terdepan yang dianggap oleh anak-anak jalanan itu bangku guru mereka, sementara Salsa duduk di kursi deretan kedua dimana anak-anak yang barusan bubar tadi belajar. Sejak awal Salsa memang sudah yakin seperti apa Al.

Di saat mereka ngobrol, dan sesekali Salsa bertanya tentang risetnya, Rena muncul. “Assalamualaikum” katanya
“Wa alaikum salam wa rahmatullah” Salsa dan Al menjawab serempak.
“Uda kelar Re?” Salsa bertanya
“Alhamdulillah uda, lo gimana?” Rena balik bertanya
“Kayaknya gue butuh waktu dua hari lagi buat ngamati di sini, sekalian bantu-bantu kak Al ngajari anak-anak”

Rena mengerutkan dahinya.
“Oh iya, gue lupa” Salsa cengengesan “Re, ini kak Al. Yang tiap harinya ngajari anak-anak disini. Kak, Ini Rena sahabat aku dari SMP, kebetulan kita dapat tema yang sama” Rena menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil tersenyum, begitu juga Al.
“Emang biasanya ngajari anak-anak itu selalu sendirian ya mas?” Tanya Rena
“Gak, biasanya gantian sama temen. Namanya kang Rahman, Tapi ini lagi gak bisa masuk istrinya baru melahirkan” Rena ber-ooh.

Tanpa terasa waktu menjelang Ashar. Rena dan Salsa segera berpamitan pada Al. Seperti kemarin, Salsa mengantar Rena terlebih dahulu baru kemudian lanjut ke rumahnya.
***

Hari ini Salsa datang lagi ke pondok belajar itu, tapi ditemani Rena yang riset-nya telah selesai. Setelah shalat berjamaah, proses belajar di mulai seperti biasa. Tapi hari ini anak-anak itu lebih bersemangat. Karena Salsa dan Rena membawa banyak buku-buku bacaan. Walaupun tidak baru, setidaknya buku-buku tersebut masih layak di pakai.

Salsa terharu, agak teriris juga hatinya melihat anak-anak itu begitu senang menerima buku darinya. Tampak bersyukur meskipun yang didapat bukanlah buku baru. Sementara dirinya yang setiap bulan pasti mendapatkan koleksi buku baru-karena Ayah Salsa punya kantor penerbitan buku sendiri- merasa biasa-biasa saja. “Makasih ya kak” tak putus-putus anak-anak itu berterimaksih pada Salsa dan Rena, diiringi dengan senyum tulus.

Sesuai dengan obrolan Salsa dengan Al kemarin, hari ini Salsa membantu mengajari anak-anak. Dia mengajari anak-anak yang belum pandai membaca dengan huruf latin. Sementara Rena yang bacaan Al-Qur’annya dianngap Salsa lebih fasih daripada dirinya sendiri, dibujuk Salsa agar mengajari anak yang belum pandai membaca dengan huruf hijaiyah. Tentu saja Rena senang. Setiap ada kesempatan dakwah, mengajari yang baik, Rena tak pernah ketinggalan. Mungkin itulah sebabnya teman-teman dan kakak-kakak kelas banyak yang memilihnya untuk menjadi ketua rohis.
“Kak, kenapa kakak nutupi kepala pake kain gitu?” Tanya seorang anak perempuan berambut ikal pada Salsa dan Rena.
“Ini ajaran agama kita sayang. Wajib hukumnya bagi setiap muslim memakai jilbab” Rena menjawab dengan senyum
“Ibaratnya gini, kamu  punya mainan yang berharga dan indah, pasti kamu gak mau setiap orang bebas memainkannya, karena nanti bisa kotor, hilang atau sebagainya. Tapi bukan berarti pelit ya sayang. Kita cuma mau menjaga apa yang seharusnya kita jaga dari orang banyak. Mungkin sekarang kamu belum ngerti sepenuhnya, tapi nanti lama-kelamaan kamu akan ngerti sendiri.” Sambung Salsa dengan senyum juga
“Aku juga mau pake jilbab” anak perempuan tadi menyahut
“Aku juga”
“Aku juga” anak-anak perempuan lainnya ikut menyahut
“Subhanallah” Salsa dan Rena takjub sendiri dalam hati
“Tapi…” anak perempuan yang bertanya tadi mendadak sedih “kita gak punya baju panjang dan jilbab seperi itu kak
“Kalian mau pakai jilbab aja itu sudah bagus.” Senyum Rena makin mengembang “Insya Allah besok kakak bawakan baju yang layak untuk kalian pakai ya”

Anak-anak perempuan itu bersorak kegirangan. Salsa dan Rena ikut bahagia. Memang kebahagiaan itu akan lebih bermakna, jika kita membaginya dengan orang lain. Bisa tersenyum bersama bahkan bisa lebih disyukuri daripada dapat undian mobil Avanza tapi hanya tersenyum sendirian. Diam-diam Al pun ikut tersenyum menyaksikan kejadian itu.
***

Esoknya, sesuai janjinya kemarin, Rena membawa pakaian muslim anak-anak satu dus besar di tambah satu kantong plastik yang berukuran agak besar juga berisikan jilba-jilbab. Bukan hanya anak perempuan saja yang kebagian, tapi anak laki-laki juga.
“Dari mana baju sebanyak itu Re” Salsa bingung sendiri
“Hehe, semalam kan Ummi gue nengokin gue ke sini. Nah, malamnya itu gue telpon dulu, bilang kalau lagi butuh baju muslim anak buat dibagi-bagiin. Kebetulan kemarinnya itu habis ada yang donor baju banyak banget, uda dibagi-bagiin ke seluruh anak panti masih belebih, Ya uda deh jadi disalurin ke mari.” Senyum Rena mengembang

Ummi-nya Rena memang mendirikan sebuah panti asuhan disamping rumah mereka. Kadang Salsa berpikir, pantas saja rejeki mereka selalu mengalir, karena mereka memelihara anak yatim.

Karena hari ini hari terakhir yang dijadwalkan Salsa sebagai waktu risetnya, dia seperti tak ingin melewatkan sedetik pun kejadian di pondok belajar ini. Dia mengambil gambar semakin banyak dari biasanya, jarang mengedipkan mata dan selalu memekakan diri terhadap anak-anak yang butuh bantuan.
“Kamu boleh koq ke sini lagi walaupun gak dalam rangka riset lagi, kami gak akan menolak kamu maupun Rena. Malah kami bersyukur karena pondok ini semakin ramai karena ada kalian” Al seperti bisa membaca setiap gerakan Salsa. Dikatakannya kalimat itu ketika anal-anak sudah bubar
“Beneran??” mata Salsa berbinar dan di bibirnya terukir senyum. Al mengangguk. “Makasih ya” sambung Salsa lagi.
“Aku juga makasih ya sama kamu sama Rena juga. Uda bikin anak-anak ceria dalam beberapa hari ini” ucap Al tulus, sekarang gantian Salsa mengangguk.
“Kita pulang sekarang Sa?” Rena yang baru dari kamar kecil muncul dan bertanya tiba-tiba
“Mmmm, boleh. Yuk…” Salsa bangkit dari duduknya “Kak, kita pulang dulu ya, mungkin besok kita belum bisa ke sini, karena besok pengumpulan tugasnya”
“Iya, gak papa. Berarti nanti malam donk nyusun essay-nya. Good luck ya” lagi-lagi Al tersenyum tulus. Salsa mengangguk lalu mengucap salam dan berlalu bersama Rena. Sesaat rasa sepi membayangi Al.
***

Seperti yang dikatakan Al, malam ini Salsa menyusun essay nya, diikutsertakannya juga foto-foto yang diambilnya beberapa hari ini. Karena tugas kali ini berbentuk essay, Salsa bebas menuangkan apa yang dirasakannya selama tiga hari yang membuatnya lebih bersyukur akan hidupnya itu. Sementara Rena, essay-nya sudah selesai dari kemarin.

Pak Radit sangat puas dengan hasil riset kedua gadis itu. Dia berniat berkunjung ke pondok belajar yang ditulus Salsa dalam essay-nya. Dan niat itu tak lama-lama hanya berkumandang di mulut saja, karena besoknya ditemani kedua gadis itu, Pak Radit berkunjung ke pondok belajar Al. Dia membawa banyak coklat, coklat yang hanya dibagikan untuk anak-anak yang berani berbicara di depan kelas. Dan juga banyak buku-buku bacaan.

Menjelang Ashar, Salsa dan Rena pamitan. Sebelum mereka benar-benar pergi, Al memanggil Salsa “Sa, boleh minta nomer handphone kamu? Aku pengen belajar dari kamu gimana caranya membagi kebahagiaan dengan orang lain, kayak kamu bisa bikin bahagia anak-anak itu” Salsa senyum, disebutkannya sederet nomor ponsel.

Perjalanan Salsa pulang ke rumah, di lihatnya sore ini lebih cerah dan indah dari sore-sore yang kemarin. Tak henti-hentinya dia tersenyum. Begitu juga dengan Al. Salsa membayangkan setelah ini hari-harinya akan terisi oleh celoteh anak-anak di pondok belajar itu, juga…. Senyuman tulus Al.

Tuhan, Bolehkah Aku Dilahirkan Kembali ?

Alicia Korelina. Aku adalah gadis cantik dengan mata hijau sebagai penyempurna kecantikanku. Aku dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang harmonis dan berkecukupan. Karena keluarga jualah aku menjadi seorang yang berprestasi dari bangku dasar. Singkatnya aku adalah gadis yang beruntung karna aku memiliki semua kesempurnaan itu.

Kehidupan itu tak berjalan selamanya. Kehancuran itu berawal dari pertengkaran hebat antara mama dan papa di suatu malam.
“Dasar. Istri tak tau diuntung. Aku seperti karna kau dan Alice. Dan sekarang kau tuduh aku berselingkuh? Dimana otakmu?”
“Lalu siapa perempuan itu? Apa itu yang tidak berselingkuh?”
PLAK.Papa melakukannya tepat di depan mata kepalaku. Tangan itu yang biasanya melindungiku dan mama, kini malah menampar wajah mama. Aku hanya menangis. Berusaha berteriak, namun suara ini tertahan untuk keluar. Berbulan-bulan aku hidup berdampingan dengan kejadian gila ini. Dan selama itu pula aku selalu berharap agar kejadian gila itu segera berakhir.

Doaku terkabul.Kejadian itu berakhir dengan persidangan cerai di meja hijau. Aku benci ini. Bahkan sangat membencinya. Hilang sudah keluarga yang selalu aku banggakan selama ini.

Hari-hariku berjalan dengan kesunyian. Pagi yang biasanya hangat dengan gurauan mama dan papa, kini terasa hambar ketika yang ku temui seorang ibu yang sibuk dengan laptopnya tanpa mempedulikan kehadiran anaknya. Setiap pagi selalu sarapan dan berangkat seorang diri. Terkadang ketika aku berpapasan dengan mereka yang diantar oleh ayah ataupun ibunya, tak tertahan rasanya membendung air mata ini. Sungguh aku sangat merindukan kehidupan seperti mereka.

Tugas hari ini adalah mengarang.
“Ciptakan sebuah karangan yang menceritakan indahnya kehidupan keluarga kalian!” itu kalimat terakhir yang ku tangkap dari Bu Reno.

Semua murid langsung hanyut dalam kegiatannya. Tapi tidak denganku. Bagaimana mungkin aku akan menuliskan keluargaku yang telah hancur. Dan kali ini aku harus benar-benar mengarang.Menuliskan bahwa aku hidup di tengah keluarga yang harmonis dan saling menyayangi.

Nurani ku berontak membaca kata-kata yang penuh kebohongan itu. Ku buang kertas itu dan kali ini aku tak ingin lagi mengarang. Dengan cepat ku tulis ‘BERBULAN-BULAN AKU HIDUP DI TENGAH KELUARGA YANG PENUH KEKACAUAN.DAN KINI AKU MERINDUKAN KELUARGAKU WALAU AKU MEMBENCINYA.’
“Belum saatnya aku menjadi seorang pengarang,”desisku pelan dan menyerahkan karangan singkat itu kepada Bu Reno.

Tanpa ku sadari, Lucas membaca tulisanku. Dengan nada prihatin, ia menanyaiku dengan berbagai pertanyaan. Dengan rasa malu bercampur takut, ku jawab pertanyaannya satu persatu.Tanpa ku sadari aku telah menuturkan semua kisah pahitku kepada pemuda Kristen itu.
“Tenang Alice. Aku tak akan menceritakan kepada orang lain. Aku hanya ingin membantumu. Pakailah ini untuk menenangkan dirimu!” tuturnya sambil meletakan sebuah bungkusan berisi serbuk-serbuk putih ke dalam genggamanku.
*****

Malamnya, ku pandangi bungkusan kecil itu.Dengan rasa penasaran, ku buka bungkusan itu perlahan. Seketika muncul bau yang mencuat ke seluruh penjuru kamar. Ku hirup bau itu dalam-dalam. Lagi dan lagi. Benar yang Lucas katakan.Aku merasakan ketenangan karenanya. Dan sejak saat itu, narkotika menjadi bagian terpenting dalam hidupku.

Setiap malam aku dan Lucas tak pernah absen menghirup benda haram itu.Dari sanalah kedekatanku dengan Lucas berawal.Dan dari kedekatan itu timbul sebuah perasaan untuknya.

Sore itu Lucas mengajakku ke sebuah gereja. Gereja yang cukup besar dan mewah menurutku. Tepat di depan sebuah patung besar, Lucas menyatakan perasaan yang sama kepadaku. Sungguh, ini kali pertamanya aku mendengar kalimat itu setelah kehancuran keluargaku. Namun kalimatnya yang terakhir membuat darah ini berhenti mengalir.Aku tau maksud pembicaraannya.Tapi,mungkinkah aku melakukannya?
“Kita memang memiliki rasa yang sama.Tapi kita tak mungkin memiliki hubungan layaknya remaja lain. Aku yakin kau mengerti. Kita tidak dalam satu keyakinan.Kecuali kalau kau….”Lucas tak melanjutkan kalimatnya dan membiarkanku berpikir.

Ah. Ini benar-benar gila. Tapi tak ada salahnya aku terima. Toh selama ini aku tak lagi diperhatikan kedua orangtuaku. Jadi tak salah kalau aku memulai kebahagiaanku yang baru dengan Lucas.
“Kalau itu yang kau inginkan, kenapa tidak.Tak masalah bagiku menukar agama seperti yang kau inginkan,”jawabku mantap.
“Dan mulai saat ini, kau buka lagi Alicia Korelina. Tapi kau adalah Alicia Kristiani yang jauh kebih kuat dari Alicia Korelina,”jawabnya sambil tersenyum licik.

Malam itu Lucas tak datang ke rumahku. Aku tau dia pasti sangat sibuk dengan bandnya. Sadar Lucas tak akan datang, segera ku cari sabu-sabu yang kusimpan minggu lalu. Sial. Aku lupa barang dibawa Lucas bersama rekannya. Ku alihkan pandangan ke meja biru yang dulu selalu membantuku mengerjakan berbagai tugas. Aku menangkap sesuatu disana. Sebotol lem. Tanpa buang waktu, ku buka tutupnya dan kuhirup dalam-dalam.

Selang beberapa waktu zat itu sudah raib dari tempatnya. Sayangnya, aku masih ingin menghirupnya. Dengan gerakan lambat, ku ambil cutter di tas sekolahku. Ku toreskan cutter berkarat itu ke pergelangan kiriku. Darah merah dan segar mengalir sambil menebarkan aroma lem yang ku hirup tadi. Ku hirup kembali aroma yang ada di darahku. Berkali-kali aku melakukan hal yang sama. Dan pada toresan yang ke delapan belas, sesuatu di luar kendaliku terjadi. Cutter itu memutuskan nadi pergelangan kiriku. Darah bersih dan segar mengalir dengan sangat deras tanpa bisa ku hentikan.

Bayangan hitam berkelebat di kepalaku. Akankan ajal itu kan datang padaku malam ini? Tidak.Tidak boleh sekarang. Aku masih ingin bertemu dengan mama dan papa walau aku membenci mereka.
Bayangan papa berkelebat di benakku. Orang yang selalu mengajarkan aku dan mama untuk shalat tepat waktu. Bahkan ia tak segan-segan mencubit pipiku kalau aku melanggar perintahnya. Dan kini aku tak lagi menjalankan aturannya. Apa yang akan ia lakukan jika tau anaknya tak lagi seorang muslimah?

Tak ada lagi tenaga yang tersissa. Namun aku masih sempat memikirkan seorang mama dalam benakku. Dia sangat berharap agar kelak aku menjadi seorang dokter sepertinya. Tapi bagaimana kalau dia tau aku seorang pecandu narkoba? Dan mengorbankan waktu belajarku untuk bermain-main dengan benda haram itu? Cacian macam apa yang akan keluar dari mulutnya jika ia tau aku seperti ini?

Mataku mulai berkunang. Darah segar dari pergelanganku terus mengalir dengan deras. Kali ini aku ingin mengirim sebuah permohonan kecil kepada tuhan sebelum mulutku benar-benar terkunci untuk menuturkan permohonan ini. Dengan napas yang tak lagi teratur ku lepaskan permohonan kecil yang sangat menyesakkan itu.
“Tuhan, bolehkah aku dilahirkan kembali?”

Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan

Waktu berlalu sangat cepat , sudah 2 minggu aku menjalani hubunganku dengan pacarku , dia bernama Fatir . Aku sangat sayang sama dia , begitu juga sebaliknya . Dia baik , manis , keren , pinter breakdance pula . Oh iya , aku juga punya 3 sahabat yang bisa ngertiin aku , yaitu , Kirana , Ayu dan Rizal . Nah , kebetulan , diantara kita yg jomblo itu aku . Kirana sama Rizal , Ayu sama Bimo . Aku ? I don't know . Sahabatku adalah penyemangatku , saat aku sedih , mereka selalu ada buat aku , kami kompak , kami gak gampang percaya omongan jelek dari orang lain yg hampir merusak persahabatan kita .

Kembali ke pacarku , Fatir , beberapa hari ini , kami ada sedikit konflik hingga akhirnya kami putus pas 3 minggunya kami . Semenjak itu , aku sangat susah buat ngelupain Fatir , gak ada seorangpun yg merubah perasaanku ke dia , padahal , aku udah berusaha sebisaku untuk melupakan dia . Gimana lagi ? Bagaimanapun , aku harus melupakan dia ! Sahabatku selalu bilang"Sabar ndin , sabar!Jangan emosi klo liat dia sama cewek lain."aku pun selalu mengikuti kata*mereka .
 
Suatu hari , sahabatku Rizal punya sahabat namanya Dhana . Dia baik , keren , suka nggombal , pokoknya sifatnya kebanyakan lucu , gokil deh . Gak tau kenapa ,  cuman gara*aku deket sama dhana sebagai temen , si Rizal malah jodoh*in aku sama Dhana .
"Ndin , tuh Dhana!"kata Rizal kepadaku
"So? Trus gue harus bilang WOW gitu ?" Jawabku dengan nada bercanda.
"Hmm,, Kamu tuh cocok bangeet sama Dhana . Sumpah deh !"
"Huuushh .. Jangan aneh*deh!"
"Aku serius! Udaaah , jadian sana ."
"Apaan sih ?Udah deh no , kok jadi bahas dia sih ? Tapi , kok bisa cocok ? Cocok dari mana ?"
"Pokoknya cocok daripada sama Fatir . Kurang perhatian ."
"Halaah , udah dulu deh . Bye!"Kataku sambil mengakhiri percakapanku dengan Rizal.

Terus*an si Rizal,Kirana dana Ayu jodoh*in aku sama Dhana , padahal kita deket cuman sebates temen biasa . Maklum , sama*jomblo , jadi dikacangin deh sama Kirana & Rizal . Aku kira , dia juga ada rasa sama aku . Lama kelamaan , aku beneran suka deh . Pas aku online di FB , Dhana juga paslagi online . Aku sama Dhana bercanda*an gitu di chat .
"Minta nomernya Fatir dong ? Kamu kan mantannya."
"Hmm..Iyaiyaa , nih *nomer Fatir*
"Sipp , masih disimpen aja nomernya ?"
"Masak mau dihapus ?"
"Masih sayang ya?"Tanya Dhana
"Sayang siapa ?"Balasku dengan nada bercanda
"Fatir lah"Jawabnyaku
"haha , iya gak yaa ?"
"Yakin ??"
"Tanya Kirana aja sana ! "
"Gak ah , Karina itu klo ngomog sm aku ruwet aja."
"hahahaha ,, eh status kamu nggombal aja tuh"
"wkwkwk ,, kan gak boleh galau !"
"Bisa aja kamu ?? Apa gunanya GALAU !!"Semangatnya.Aku dan Dhana terus bercanda , disitulah aku langsung tau sifatnya.Aku mulai suka sama dia waktu itu . Tapi sayangnya , dia udah suka sama kakak kelas kita , namanya Tata . Dhana itu tipe cowok yg setia dan gak mungkin aku maksain dia buat suka sama aku . Aku nge-Add FBnya kakak kelas yg disukai dhana itu . Eh , dia malah nanya*tentang Dhana , yah , aku rela lah demi orang yg kita sayang .
"Dek ,, kamu temennya dhana kan ?"Tanya kak Tata
"Iyaa kak , kenapa?"aku balik bertanya
"Aku mau tanya , tapi kamu jangan bilang Dhana ya ?"
"Iyaa kak , apa ?"
"Dhana itu anaknya gimana sih ?"Langsung deh , hatiku hancur pas ditanya gitu . Dengan jujur aku menjawab"Dhana itu lucu kak , agak lucu tapi seru , baik juga kak . Kakak suka Dhana yaa ?"Tanyaku nggak ikhlas .
"hahahaha ,, enggak*dek .... Aku lagi deket aja sama dia ."JLEB !
"Kok nggak jadian aja kak?"
"hahahaha ,, nggak tau dekk. Menurutmu dia cowok setia nggak ?"
"Setia kok dia kak."
"Beneran ? Jangan karna kamu temennya terus kamu baik*in dia lho ya dek."Aaarrgghh :@ cerewet banget nih orang #sabaaaar# . Lalu aku jawab,"Enggak kok kak , beneran."Akhirnya aku selesai chat sama dia , sampai besok , aku masih ngerasain sakiit hatiku waktu kak Tata nanya gitu . Tp aku cuma bisa sabaar & tabah , walau sebenernya gak bisa nerima kenyataan PAHIT ini ! Mungkin gak lama lagi , Dhana nembak kak Tata dan jadian deh ~ Tapii ,, aku yakin , mereka nggak selamanya . Dan buat aku bakal indah PADA WAKTUNYA . Tapi untuk kali ini , aku bener* ngerasain sakit hati yg dalam . Cintaku bertepuk sebelah tangan .
~THE END~