Pengalaman pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar
telah menyisakan luka mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun
jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan perang mereka lebih
memadai, namun ternyata mereka harus menanggung kerugian materi yang
tidak sedikit.
Dan yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya para tokoh mereka.
Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk mengembalikan pamor
Suku Quraisy yang telah terkoyak dalam Perang Badar, mendorong mereka
melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin. Sehingga terjadilah
beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang Uhud termasuk di antara
peperangan dahsyat yang terjadi akibat api dendam ini. Disebut perang
Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat gunung Uhud. Sebuah gunung
dengan ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan sekarang ketinggiannya
hanya 121 meter. Bukit ini berada di sebelah utara Madinah dengan jarak
5,5 km dari Masjid Nabawi.
WAKTU KEJADIAN
Para Ahli Sirah sepakat bahwa perang ini terjadi pada bulan Syawwâl
tahun ketiga hijrah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam ke Madinah.
Namun mereka berselisih tentang harinya. Pendapat yang yang paling
masyhûr menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada hari Sabtu,
pertengahan bulan Syawwal.
PENYEBAB PERANG
Di samping perang ini dipicu oleh api dendam sebagaimana disebutkan
diawal, ada juga penyebab lain yang tidak kalah pentingnya yaitu misi
menyelamatkan jalur bisnis mereka ke Syam dari kaum Muslimin yang
dianggap sering mengganggu. Mereka juga berharap bisa memusnahkan
kekuatan kaum Muslimin sebelum menjadi sebuah kekuatan yang
dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Quraisy.
Inilah beberapa motivasi yang melatarbelakangi penyerangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin di Madinah.
JUMLAH PASUKAN
Kaum Quraisy sejak dini telah mempersiapkan pasukan mereka. Barang
dagangan dan keuntungan yang dihasilkan oleh Abu Sufyân beserta
rombongan yang selamat dari sergapan kaum Muslimin dikhususkan untuk
bekal pasukan mereka dalam perang Uhud. Untuk menyukseskan misi mereka
dalam perang Uhud ini, kaum Quraisy berhasil mengumpulkan 3 ribu pasukan
yang terdiri dari kaum Quraisy dan suku-suku yang loyal kepada Quraisy
seperti Bani Kinânah dan penduduk Tihâmah. Mereka memiliki 200 pasukan
berkuda dan 700 pasukan yang memakai baju besi. Mereka mengangkat Khâlid
bin al-Walîd sebagai komandan sayap kanan, sementara sayap kiri di
bawah komando Ikrimah bin Abu Jahl.
Mereka juga mengajak beberapa orang wanita untuk membangkitkan
semangat pasukan Quraisy dan menjaga mereka supaya tidak melarikan diri.
Sebab jika ada yang melarikan diri, dia akan dicela oleh para wanita
ini. Tentang jumlah wanita ini, para Ahli Sirah berbeda pendapat. Ibnu
Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka 8 orang, al-Wâqidi
rahimahullah menyebutkan 14 orang, sedangkan Ibnu Sa’d rahimahullah
menyebutkan 15 wanita.
MIMPI RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU ‘ALAIHI WASALLAM
Sebelum peperangan ini berkecamuk, Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam diperlihatkan peristiwa yang akan terjadi dalam perang ini
melalui mimpi. Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menceritakan
mimpi ini kepada para Sahabat. Beliau Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam bersabda:
“Saya bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu
(isyarat-pent) musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud.
Kemudian saya ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih
baik dari sebelumnya. Itu (isyarat –pent-) kemenangan yang Allah Ta’ala
anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu saya juga
melihat sapi –Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik- Itu
(isyarat) terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang
Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan
kejujuran yang Allah Ta’ala karuniakan setelah perang Badar”.
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menakwilkan mimpi Beliau ini
dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud.
Saat mengetahui kedatangan Quraisy untuk menyerbu kaum Muslimin di
Madinah, Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mengajak para Sahabat
bermusyawarah untuk mengambil tindakan terbaik. Apakah mereka tetap
tinggal di Madinah menunggu dan menyambut musuh di kota Madinah ataukah
mereka akan menyongsong musuh di luar Madinah?
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam cenderung mengajak para
Sahabat bertahan di Madinah dan melakukan perang kota, namun sekelompok
kaum Anshâr radhiallahu’anhum mengatakan,
“Wahai Nabiyullâh! Sesungguhnya kami benci berperang di jalan kota
Madinah. Pada jaman jahiliyah kami telah berusaha menghindari peperangan
(dalam kota), maka setelah Islam kita lebih berhak untuk
menghindarinya. Cegatlah mereka (di luar Madinah) !”
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersiap untuk berangkat.
Beliau mengenakan baju besi dan segala peralatan perang. Setelah
menyadari keadaan, para Sahabat saling menyalahkan. Akhirnya, mereka
mengatakan:
“Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menawarkan sesuatu, namun
kalian mengajukan yang lain. Wahai Hamzah, temuilah Rasûlullâh
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan katakanlah, “Kami mengikuti
pendapatmu””.
Hamzah radhiallahu’anhu pun datang menemui Rasûlullâh Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullâh, sesungguhnya para
pengikutmu saling menyalahkan dan akhirnya mengatakan, ‘Kami mengikuti
pendapatmu.’ Mendengar ucapan paman beliau ini, Rasulullâh Salallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda :
"Sesungguhnya jika seorang Nabi sudah mengenakan peralatan perangnya,
maka dia tidak akan menanggalkannya hingga terjadi peperangan".
Keputusan musyawarah tersebut adalah menghadang musuh di luar kota
Madinah. Ibnu Ishâq rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan bahwa
‘Abdullâh ibnu Salûl setuju dengan pendapat Rasûlullâh Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara at-Thabari
membawakan riwayat yang berlawanan dengan riwayat Ibnu Ishâq
rahimahullah, namun dalam sanad yang kedua ini ada orang yang tertuduh
dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, al-Bâkiri dalam
tesisnya lebih menguatkan riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishâq
rahimahullah.
Para Ulama Ahli Sirah menyebutkan bahwa yang memotivasi para Sahabat
untuk menyongsong musuh di luar Madinah yaitu keinginan untuk
menunjukkan keberanian mereka di hadapan musuh, juga keinginan untuk
turut andil dalam jihad, karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk
ikut dalam Perang Badar.
Sementara, Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam lebih memilih
untuk tetap tinggal dan bertahan di Madinah, karena Beliau ingin
memanfaatkan bangunan-bangunan Madinah serta memanfaatkan orang-orang
yang tinggal di Madinah.
PELAJARAN DARI KISAH
Kaum Muslimin yang sedang berada di daerah, jika diserbu oleh musuh,
maka mereka tidak wajib menyongsong kedatangan musuh. Mereka boleh tetap
memilih bertahan di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh di sana. Ini
jika strategi ini diharapkan lebih mudah untuk mengalahkan musuh. Hal
ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam dalam Perang Uhud.